Pergeseran Kekuasaan di Banten: Tantangan Pemerataan dan Penghapusan Dinasti Politik

Banten, wilayah yang kaya akan sejarah dan potensi, terus bergulat dengan dinamika politik yang kompleks. Tradisi politik dinasti yang telah lama mengakar, kini menghadapi tantangan seiring dengan perubahan selera pemilih dan munculnya tuntutan akan tata kelola yang lebih transparan dan berkeadilan.

Politik dinasti bukanlah fenomena baru di Banten. Nama-nama seperti Dimyati Natakusumah dan Ratu Atut Chosiyah telah lama mendominasi panggung politik, membangun kekuatan melalui jaringan keluarga, pengaruh sosial, dan dukungan partai politik. Setelah dua periode menjabat sebagai Bupati Pandeglang, Dimyati digantikan oleh istrinya, Irna Narulita. Sementara itu, dinasti Rau, yang berakar dari tokoh Chasan Sochib, juga terus mempertahankan pengaruhnya melalui berbagai posisi strategis. Namun, Pilkada Banten 2024 menunjukkan adanya pergeseran. Pasangan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah berhasil mengalahkan pasangan Airin-Ade Sumardi, menandai potensi perubahan dalam peta politik Banten.

Kemenangan Andra-Dimyati bukan hanya soal strategi kampanye atau kekuatan partai. Lebih dari itu, kemenangan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran pemilih terhadap isu-isu seperti integritas, transparansi, dan rekam jejak korupsi. Meskipun dinasti Rau memiliki catatan panjang kasus hukum, dinasti Dimyati pun tidak sepenuhnya bersih dari masalah serupa. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kemenangan ini benar-benar membawa perubahan signifikan, atau hanya sekadar pergantian wajah dengan pola lama yang tetap bertahan?

Di tengah dinamika politik ini, Banten juga menghadapi tantangan serius dalam hal pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banten memang menunjukkan peningkatan, mencapai 76,35 pada tahun 2024, yang menempatkannya di tujuh besar nasional. Namun, angka rata-rata ini seringkali menutupi ketimpangan yang signifikan antara wilayah utara dan selatan. Tangerang Selatan mencatat IPM tertinggi (84,16), sementara Kabupaten Lebak tertinggal jauh (68,33). Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa kemajuan masih terkonsentrasi di wilayah utara, sementara wilayah selatan terus berjuang dengan masalah kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan buruknya akses kesehatan.

Karakteristik politik di Banten juga ditandai dengan kuatnya tradisi patronase. Kekuasaan tidak hanya soal jabatan formal, tetapi juga tentang jaringan keluarga, relasi sosial, dan akses sumber daya. Figur-figur kuat seperti Ratu Atut mempraktikkan politik patron-klien, memberikan fasilitas dan akses kepada loyalis sebagai imbalan dukungan. Selain itu, lemahnya kaderisasi partai membuat regenerasi menjadi stagnan. Partai cenderung memilih calon yang dianggap "pasti menang", biasanya tokoh dari keluarga elite, daripada membina kader muda yang berkompeten. Akibatnya, wajah-wajah baru yang muncul dalam politik seringkali memiliki nama belakang yang familiar. Bahkan, pengaruh dinasti ini merambah ke berbagai sektor di luar politik, termasuk bisnis, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan. Fenomena ini sering disebut sebagai "Octopus Dynasty", di mana satu keluarga dapat mengendalikan banyak sektor sekaligus.

Di tengah tantangan-tantangan ini, muncul sosok Andra Soni dengan gaya populisnya. Ia menolak anggaran pakaian dan furnitur rumah dinas, memilih menjahit pakaian sendiri untuk pelantikan, dan menolak fasilitas pribadi dari APBD. Sikap ini sejalan dengan Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi belanja negara. Pendekatan ini disambut positif oleh publik, yang merasa jenuh dengan gaya hidup mewah para elite. Andra juga rajin turun ke lapangan, berdialog langsung dengan warga, dan membuka ruang kritik. Namun, beberapa pengamat mengingatkan bahwa populisme seringkali hanya bersifat simbolik. Tanpa reformasi struktural, semuanya bisa jadi hanya pencitraan belaka. Kebijakan seperti penghapusan pajak kendaraan bermotor yang menunggak memang populer, tetapi tanpa sistem insentif dan pengawasan yang baik, kebijakan ini dapat melemahkan budaya taat pajak.

Ironisnya, di tengah pertumbuhan IPM, Banten justru menyandang predikat provinsi paling tidak bahagia di Indonesia pada tahun 2021. Ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi salah satu penyebabnya. Di saat Tangerang Selatan tumbuh menjadi kota modern, daerah seperti Lebak dan Pandeglang masih tertinggal. Pengangguran juga tinggi, bahkan tertinggi nasional pada Februari 2024. Survei juga menunjukkan rendahnya kepuasan hidup, minimnya emosi positif, dan lemahnya rasa makna hidup di kalangan warga Banten. Pemerintah Provinsi telah berupaya mengatasi masalah ini melalui berbagai program, tetapi solusi struktural, seperti perbaikan pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan, tetap menjadi kunci.

Banten memiliki potensi besar untuk menjadi wilayah yang maju dan sejahtera. Namun, selama ketimpangan dibiarkan, dinasti tetap dominan, dan partisipasi warga rendah, maka problem lama akan terus berulang. Pertanyaan yang penting adalah, mampukah kepemimpinan baru benar-benar mengubah pola lama, atau Banten akan terus menjadi wilayah yang "maju di angka, tetapi tertinggal di rasa"? Hanya waktu dan konsistensi kebijakan yang dapat menjawab pertanyaan ini.