Rencana Kenaikan Gaji Hakim Picu Polemik Kesenjangan Penghasilan ASN
Pemerintahan Joko Widodo tercatat tiga kali menaikkan gaji aparatur negara (ASN), termasuk hakim, TNI, dan Polri, yaitu pada tahun 2015, 2019, dan 2024. Kebijakan ini berbeda dengan periode sebelum Jokowi, di mana kenaikan gaji ASN dilakukan setiap tahun untuk menyesuaikan dengan inflasi.
Kini, rencana pemerintahan Prabowo Subianto untuk menaikkan gaji hakim sebesar 280% tanpa menyertakan aparatur non-hakim, menimbulkan polemik dan kekhawatiran akan kesenjangan internal di kalangan aparatur negara. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan potensi kesenjangan eksternal, yaitu perbedaan penghasilan antara ASN dan pekerja di sektor swasta.
Saat ini, hakim telah menerima tunjangan yang, secara kumulatif, melebihi tunjangan kinerja pejabat di Kementerian Keuangan (Non DJP), yang seharusnya menjadi acuan tertinggi bagi tunjangan kinerja kementerian/lembaga lain. Selain gaji, tunjangan jabatan hakim, dan tunjangan kinerja, hakim juga mendapatkan fasilitas jabatan seperti rumah dinas, sekretaris, ajudan, dan kendaraan dinas. Sementara itu, aparatur selain hakim hanya menerima gaji dan tunjangan kinerja.
Perbandingan penghasilan antara pejabat pengawas (eselon IV) di Kementerian Keuangan (Non-DJP) dan hakim madya pratama di Pengadilan Tingkat Pertama Kelas II menunjukkan perbedaan signifikan. Take home pay hakim madya pratama mencapai Rp 26.500.000, jauh di atas take home pay pejabat pengawas di Kementerian Keuangan (Non DJP) sebesar Rp 11.900.000. Perbedaan ini semakin mencolok jika dibandingkan dengan ASN di luar Kementerian Keuangan atau di pemerintah daerah.
Bahkan, take home pay hakim madya pratama hampir mendekati take home pay pejabat setara di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), instansi dengan remunerasi tertinggi. Jika gaji hakim dinaikkan sebesar 280%, penghasilan mereka akan menjadi dua kali lipat di atas ASN dengan penghasilan tertinggi di DJP.
Pemerintah perlu menjelaskan komponen penghasilan mana yang akan dinaikkan. Kenaikan gaji bukanlah satu-satunya faktor penentu integritas dan profesionalitas hakim. Pembenahan sistem, regulasi, dan pembinaan sumber daya manusia juga sangat penting. Kasus korupsi yang masih terjadi di kementerian/lembaga dengan remunerasi tinggi menunjukkan bahwa remunerasi tinggi bukan jaminan integritas.
Mahkamah Agung perlu mereformasi sistem administrasi birokrasinya, terutama dalam rekrutmen kepemimpinan dan pembinaan aparatur. Kepemimpinan yang menjadi teladan, pembangunan karakter hakim, dan sistem pengawasan yang melekat adalah kunci integritas hakim.
Kebijakan kenaikan gaji harus mempertimbangkan prinsip keadilan dan potensi kesenjangan sosial, baik internal maupun eksternal. Kajian empiris perlu dilakukan sebelum keputusan diambil.