Kenaikan Pajak Kendaraan Diprotes, Mahasiswa Bengkulu Pertanyakan Keberpihakan Pemerintah
Gelombang unjuk rasa kembali mewarnai Bengkulu. Kali ini, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Bumi Rafflesia (GMBR) turun ke jalan, menyuarakan aspirasi mereka terkait kenaikan pajak kendaraan yang dinilai mencekik leher masyarakat. Aksi demonstrasi ini digelar di depan Gedung DPRD Provinsi Bengkulu pada Senin (16/6/2025).
Para mahasiswa mempertanyakan komitmen Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, terhadap slogan populisnya, “Bantu Rakyat”. Mereka menilai, kebijakan kenaikan pajak kendaraan bertolak belakang dengan semangat tersebut. Ketua PKC PMII Bengkulu, Sandyya, mengungkapkan kekecewaannya atas kurangnya respons cepat dari pemerintah daerah dalam mengatasi dampak kenaikan pajak ini. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk meringankan beban masyarakat.
Mahasiswa menawarkan dua solusi konkret kepada gubernur. Pertama, mengeluarkan kebijakan penundaan berlakunya opsen pajak, seperti yang pernah dilakukan oleh Plt Gubernur Rosjonsyah sebelumnya. Kedua, mengajukan revisi Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 7 Tahun 2023, dengan fokus pada pasal-pasal yang mengatur opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Ironisnya, surat permohonan revisi perda yang dikirimkan oleh gubernur ke DPRD dianggap tidak menyentuh substansi krusial terkait opsen PKB dan BBNKB. Mahasiswa menyoroti bahwa tidak ada permintaan revisi pasal opsen PKB dan BBNKB dalam surat tersebut. Kenaikan pajak kendaraan yang mencapai 66 persen dinilai sangat membebani masyarakat. Mereka berpendapat, jika perda direvisi dan opsen pajak diturunkan dari 1,2 persen menjadi 0,9 persen, dampak negatifnya dapat diminimalkan.
Salah seorang mahasiswa dengan nada geram menagih janji “Bantu Rakyat” yang selama ini digaungkan. Ia mempertanyakan mengapa gubernur tidak mengambil langkah cepat dan memilih untuk menunggu revisi perda yang prosesnya memakan waktu lama. Ia juga mengungkapkan dampak langsung kenaikan pajak pada dirinya, di mana pajak motornya melonjak dari Rp 260 ribu menjadi Rp 430 ribu. Meskipun mengakui bahwa opsen berasal dari pemerintah pusat, ia menekankan bahwa gubernur dan legislatif memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini.
Mahasiswa juga meminta gubernur untuk belajar dari provinsi lain yang dinilai lebih sigap dalam mengantisipasi dampak kenaikan opsen pajak. Mereka mencontohkan Provinsi Sumatera Selatan, di mana tidak terjadi gejolak akibat kenaikan pajak karena pemerintah daerah telah mengambil langkah-langkah antisipasi yang efektif. Mahasiswa menyayangkan sikap Pemerintah Provinsi Bengkulu yang justru terkesan menyalahkan pemerintah sebelumnya.
Kronologi Kenaikan Opsen Pajak
Kenaikan opsen pajak kendaraan bermotor merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk memperoleh tambahan pendapatan dari opsen atas PKB, BBNKB, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Opsen ini merupakan respons terhadap aspirasi daerah yang menginginkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diterima langsung tanpa harus menunggu Dana Bagi Hasil (DBH) dari provinsi.
Aturan tersebut seharusnya mulai berlaku pada 5 Januari 2025. Namun, untuk menghindari gejolak sosial, pemerintah pusat menetapkan masa transisi melalui Surat Edaran Mendagri Nomor 900.1.13.1/6764/SJ pada 20 Desember 2024. Surat edaran tersebut menginstruksikan gubernur untuk menetapkan keputusan terkait pemberian keringanan atau pengurangan PKB, BBNKB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, serta melakukan sosialisasi yang gencar.
Plt Gubernur Bengkulu saat itu, Rosjonsyah, merespons dengan menerbitkan SK Gubernur tertanggal 6 Januari 2025 yang mengatur keringanan pajak hingga 49,8 persen untuk BBNKB roda dua dan 37,25 persen untuk BBNKB roda empat. Kebijakan ini berlaku hingga 7 Mei 2025.
Namun, setelah masa keringanan berakhir pada 7 Mei 2025, tarif opsen pajak mulai diberlakukan dan memicu gejolak karena kurangnya sosialisasi yang efektif. Aksi mahasiswa menjadi puncak dari ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menghadapi dampak kenaikan ini.