Muhammadiyah Soroti Sengketa Pulau Aceh-Sumut: Jaga Momentum Perdamaian

Polemik kepemilikan empat pulau yang terletak di antara Aceh dan Sumatra Utara menjadi perhatian serius Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menekankan pentingnya penyelesaian sengketa ini secara bijaksana oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Anwar Abbas mengingatkan, penanganan yang kurang tepat berpotensi mengganggu stabilitas dan persatuan bangsa.

Menurut Anwar Abbas, konflik berkepanjangan terkait kepemilikan pulau-pulau tersebut dapat memicu perpecahan. Masyarakat Indonesia, khususnya di Aceh, baru saja merasakan kedamaian setelah konflik bersenjata yang berlangsung selama puluhan tahun antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menjadi tonggak penting dalam mengakhiri konflik tersebut.

Perjanjian Helsinki membawa angin segar bagi Aceh, dengan disepakatinya otonomi khusus, kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah Aceh, penyelenggaraan pemilu lokal, serta amnesti dan reintegrasi bagi anggota GAM. Selain itu, dilakukan pula penarikan pasukan TNI/Polri secara bertahap dan pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Aceh. Implementasi konsisten dari poin-poin perjanjian tersebut menjadi kunci terciptanya perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.

Namun, kedamaian yang telah diraih ini terancam oleh keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyatakan bahwa empat pulau, yaitu Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, berada di bawah administrasi Sumatra Utara. Keputusan ini memicu reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat Aceh, yang mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut secara historis dan formal merupakan bagian dari wilayah Singkil, Provinsi Aceh. Klaim ini juga didukung oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Oleh karena itu, Anwar Abbas mendesak semua pihak terkait untuk mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa ini. Pemerintah pusat diharapkan dapat mengambil langkah-langkah yang adil dan bijaksana, dengan mempertimbangkan sejarah, aspirasi masyarakat Aceh, dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Jangan sampai polemik ini merusak perdamaian yang telah susah payah dibangun di Aceh, serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.