SPMB 2025: KPK Mengendus Potensi Korupsi dalam Penerimaan Siswa Baru

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkapkan kekhawatiran serius terkait potensi praktik korupsi yang menyelimuti Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan diterapkan pada tahun 2025 mendatang. Temuan ini mengindikasikan adanya celah yang berpotensi disalahgunakan untuk praktik penyuapan, pemerasan, dan gratifikasi dalam proses penerimaan siswa baru.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa salah satu akar masalahnya terletak pada kurangnya transparansi dalam penentuan kuota dan persyaratan penerimaan siswa. Kondisi ini membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan praktik koruptif dengan memanfaatkan ketidakjelasan informasi. Selain itu, KPK juga menyoroti adanya indikasi penyalahgunaan jalur masuk yang seharusnya diperuntukkan bagi siswa berprestasi, siswa dari keluarga kurang mampu (afirmasi), anak-anak yang orang tuanya berpindah tugas, serta siswa yang berdomisili di sekitar sekolah (zonasi).

Permasalahan Krusial dalam SPMB 2025:

  • Manipulasi Data Zonasi: Modus operandi yang kerap ditemukan adalah pemalsuan dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bahkan, beberapa pihak rela melakukan perpindahan domisili sementara demi memenuhi persyaratan zonasi.
  • Ketidaksesuaian Data Afirmasi: Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang seharusnya menjadi acuan dalam menentukan penerima bantuan afirmasi, seringkali tidak akurat. Akibatnya, banyak siswa yang sebenarnya berasal dari keluarga mampu justru terdaftar sebagai penerima bantuan.
  • Pemalsuan Piagam Prestasi: Penerbitan piagam prestasi palsu menjadi cara instan untuk memuluskan jalan masuk siswa melalui jalur prestasi. Ironisnya, beberapa kriteria prestasi seperti hafiz Quran, hanya mengakomodasi kelompok agama tertentu, sehingga menimbulkan diskriminasi.
  • Penyalahgunaan Dana BOS: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, justru diselewengkan. Pertanggungjawaban dana BOS pun seringkali tidak dilengkapi dengan bukti yang memadai. Modus pelanggaran yang umum terjadi adalah kolaborasi antara pihak sekolah dan dinas terkait untuk memanipulasi jumlah siswa, yang berimplikasi pada besaran dana BOS yang diterima.

Menyikapi temuan ini, KPK menekankan pentingnya komitmen dari seluruh pemerintah daerah sebagai pemangku regulasi, pihak sekolah sebagai pelaksana, dan masyarakat sebagai pengguna layanan publik. KPK juga mendorong sosialisasi yang masif terkait sistem penerimaan SPMB, penyelenggaraan Forum Konsultasi Publik, Survei Kepuasan Masyarakat, serta penanganan pengaduan sektor pendidikan.

Dari aspek regulasi, KPK menekankan perlunya kebijakan yang kuat untuk mencegah praktik pungutan liar di sektor pendidikan. Melalui fungsi koordinasi dan supervisi, KPK akan terus memantau upaya-upaya pencegahan korupsi pada sektor pendidikan dan membuka diri untuk memberikan pendampingan.