Proses Ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura Menuai Tantangan Hukum dan Prosedur
Proses Ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura Menuai Tantangan Hukum dan Prosedur
Proses ekstradisi Paulus Tannos, tersangka kasus korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun, dari Singapura ke Indonesia menghadapi sejumlah tantangan hukum dan prosedur yang diperkirakan akan memakan waktu lama. Hal ini disampaikan oleh Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K Shanmugam, dalam jumpa pers pada Senin, 10 Maret 2025. Pernyataan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan publik di Indonesia terkait lambatnya proses ekstradisi Tannos.
Shanmugam menjelaskan bahwa Tannos, yang telah mengajukan gugatan hukum, akan menentang upaya ekstradisi. Keberadaan gugatan hukum ini otomatis memperpanjang proses yang diperkirakan akan berlangsung selama dua tahun atau lebih. Sebaliknya, jika Tannos tidak mengajukan perlawanan, proses ekstradisi dapat diselesaikan dalam waktu enam bulan atau bahkan kurang. Lebih lanjut, Shanmugam menekankan bahwa meskipun pengadilan memerintahkan ekstradisi, Tannos masih berhak mengajukan banding, yang akan semakin memperlambat prosesnya.
Salah satu faktor yang memperumit proses ini adalah kepemilikan paspor diplomatik Tannos dari Guinea-Bissau. Pengacara Tannos telah mengemukakan hal ini dalam sidang ekstradisi pada 23 Januari 2025. Shanmugam menjelaskan bahwa meskipun Tannos masuk Singapura dengan paspor yang sah, hal tersebut tidak memberikannya kekebalan diplomatik karena ia tidak terakreditasi di Kementerian Luar Negeri Singapura. Namun, keberadaan paspor tersebut tetap menyulitkan proses pemulangan langsung Tannos ke Indonesia. "Tidak mungkin kami bisa langsung menerbangkannya ke pesawat dan memulangkannya. Ada proses formal," tegas Shanmugam.
Lebih lanjut, laporan menunjukkan bahwa Tannos, yang ditahan di Penjara Changi sejak 17 Januari 2025 berdasarkan permintaan penahanan sementara (provisional arrest request) dari pengadilan Singapura, mengakui sakit dan dirawat di rumah sakit, sehingga jadwal pemeriksaannya pada 7, 13, dan 19 Maret 2025 mengalami perubahan. Penahanan sementara ini merupakan bagian dari mekanisme yang diatur dalam Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, sebagai bentuk kerja sama antara Indonesia dan Singapura dalam penegakan hukum.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Hukum dan HAM, telah menyerahkan permintaan ekstradisi resmi dan dokumen pendukungnya kepada otoritas Singapura pada 24 Februari 2025. Baik KPK maupun Kejaksaan Agung telah memastikan bahwa seluruh dokumen yang dibutuhkan telah dipenuhi. Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia, Edward Hiariej, dan Ketua KPK, Setyo Budiyanto, telah memberikan konfirmasi mengenai hal ini. Meskipun demikian, proses verifikasi dan kajian dokumen oleh otoritas Singapura memerlukan waktu.
Perlu ditekankan bahwa penangkapan Tannos di Singapura dilakukan melalui prosedur hukum yang melibatkan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) dan aparat penegak hukum Singapura, bukan penangkapan langsung oleh KPK. KBRI Singapura menegaskan bahwa Tannos tidak pernah ditahan di KBRI dan menghormati proses hukum yang berjalan di Singapura.
Kasus ini menyoroti kompleksitas ekstradisi internasional dan pentingnya kerjasama yang erat antara kedua negara dalam memastikan agar proses hukum berjalan sesuai aturan dan perjanjian yang berlaku. Meskipun prosesnya panjang dan rumit, upaya mengembalikan Tannos ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perannya dalam skandal korupsi e-KTP tetap berlanjut.