Eskalasi Konflik Timur Tengah Ancam Kestabilan Rupiah

Rupiah Tertekan Sentimen Geopolitik Timur Tengah

Jakarta - Ketegangan yang meningkat antara Israel dan Iran menjadi momok bagi nilai tukar rupiah. Para analis pasar keuangan memprediksi mata uang Garuda ini akan mengalami tekanan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat sentimen negatif yang dipicu oleh konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Kekhawatiran pasar terhadap potensi meluasnya konflik Israel-Iran mendorong investor untuk mencari aset-aset yang dianggap lebih aman (safe haven), seperti emas. Harga emas Loco London pun terpantau mengalami kenaikan signifikan. Kondisi ini secara tidak langsung memberikan tekanan pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ariston Tjendra, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, mengungkapkan bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah menjadi faktor utama yang membebani rupiah. Pasar khawatir bahwa perang yang lebih besar akan pecah, sehingga investor cenderung menghindari aset-aset berisiko.

Namun, di sisi lain, indeks dolar AS sendiri masih menunjukkan tekanan dan konsolidasi di level 98-99. Hal ini dipicu oleh rilis data inflasi konsumen AS yang lebih rendah dari perkiraan, serta tekanan ekonomi AS akibat kebijakan tarif yang diterapkan oleh mantan Presiden Donald Trump.

Lukman Leong, Analis Mata Uang Doo Financial Futures, menambahkan bahwa meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel telah memicu sentimen risk off di pasar. Kondisi ini mendorong investor untuk melepas aset-aset berisiko dan beralih ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS.

Menurut data Bloomberg, pada pukul 09.13 WIB, rupiah berada di level Rp 16.310 per dolar AS, melemah 6,5 poin (0,04 persen) dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp 16.303,5 per dolar AS. Sementara itu, berdasarkan kurs tengah JISDOR pada Jumat (13/6/2025), nilai tukar rupiah berada di level Rp 16.293 per dolar AS, melemah dibandingkan hari Kamis (12/6/2025) yang berada di level Rp 16.237 per dolar AS.

Para analis memprediksi bahwa rupiah akan terus bergerak fluktuatif dalam beberapa waktu ke depan, tergantung pada perkembangan situasi geopolitik di Timur Tengah dan data-data ekonomi global yang dirilis.