Pembentukan Badan Penerimaan Negara: Antara Harapan dan Tantangan Reformasi Fiskal

Pembentukan Badan Penerimaan Negara: Antara Harapan dan Tantangan Reformasi Fiskal

Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, menandai babak baru dalam upaya meningkatkan pendapatan negara. Langkah ini, yang bertujuan untuk mendongkrak rasio penerimaan negara menjadi 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2029, memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Konsolidasi Fungsi Penerimaan Negara

BPN akan mengintegrasikan berbagai fungsi penerimaan negara yang sebelumnya tersebar di berbagai direktorat di bawah Kementerian Keuangan, termasuk Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta sebagian peran Direktorat Jenderal Anggaran dan DJKN. Dengan otoritas penuh atas pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepala BPN akan memiliki kedudukan setara menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Struktur organisasi BPN mencakup dua wakil kepala, enam deputi yang membidangi perencanaan, pengawasan pajak, pengawasan PNBP, bea cukai, intelijen fiskal, dan penegakan hukum, serta pusat data dan riset. Dewan Pengawas yang terdiri dari Menko Perekonomian, Kapolri, Panglima TNI, Kepala PPATK, Jaksa Agung, dan empat tokoh independen akan mengawasi kinerja BPN.

Tantangan yang Perlu Diatasi

Namun, efektivitas BPN tidak hanya bergantung pada struktur organisasinya. Integritas birokrasi, kepatuhan wajib pajak, celah regulasi, dan lemahnya penegakan hukum fiskal merupakan tantangan mendasar yang harus diatasi. Data menunjukkan tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan yang tinggi secara formal, namun kepatuhan substantif dan kualitas basis pajak nasional masih perlu ditingkatkan. Sektor ekonomi digital yang belum tergarap optimal, serta sektor informal dan pelaku besar yang sering lolos dari pengawasan, menjadi perhatian utama.

Koordinasi dan Tata Kelola Fiskal

Selain itu, koordinasi antara BPN dan Kementerian Keuangan menjadi krusial. Pembentukan BPN menimbulkan pertanyaan mengenai pembagian fungsi fiskal dan akuntabilitas anggaran kepada DPR. Pemisahan fungsi fiskal yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menyebabkan disorientasi kebijakan. Pengawasan politik yang memadai diperlukan untuk mencegah kontrol tertutup yang tidak akuntabel.

Transparansi dan Reformasi yang Berkelanjutan

Reformasi fiskal yang sejati harus dimulai dengan transparansi. Sistem teknologi perpajakan yang canggih seperti coretax hanyalah alat, dan efektivitasnya bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Belajar dari kegagalan reformasi birokrasi sebelumnya, BPN harus menghindari intervensi politik, pelemahan kelembagaan, dan kooptasi kepentingan. Reformasi fiskal yang sukses harus mampu memperluas basis pajak, menurunkan beban masyarakat kecil, dan menertibkan pelaku besar yang selama ini kebal pajak.

Belajar dari Negara Lain

Ghana, dengan Ghana Revenue Authority (GRA), sering dijadikan contoh keberhasilan reformasi otoritas penerimaan. Keberhasilan GRA terletak pada tata kelola yang transparan, integrasi data lintas lembaga, serta dukungan politik jangka panjang terhadap reformasi fiskal. Reformasi fiskal adalah maraton yang membutuhkan arah, stamina, dan kejujuran.

Keadilan Fiskal sebagai Tujuan Utama

Penerimaan negara bukan hanya sekadar angka, tetapi juga menyangkut moral, keadilan, dan keberpihakan pada yang lemah. Peningkatan tax ratio tidak berarti jika korupsi tetap merajalela, dan surplus APBN tidak berarti jika rakyat tidak merasakan perbaikan layanan publik. BPN harus menjadi penjamin keadilan fiskal, bukan sekadar alat akumulasi penerimaan.

Badan Penerimaan Negara adalah peluang sekaligus jebakan. Ia bisa menjadi instrumen keadilan fiskal atau alat baru untuk mempertahankan hak istimewa fiskal. Masyarakat menanti hasil nyata, integritas, dan keadilan dari BPN, bukan sekadar lembaga baru dengan masalah lama.