Kontroversi Fadli Zon: Mengingkari Tragedi Pemerkosaan Massal 1998, Luka Lama Kembali Menganga

Kontroversi Pernyataan Fadli Zon Terkait Tragedi 1998 Picu Reaksi Keras

Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengenai kerusuhan Mei 1998 telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Fadli Zon menyangkal terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan, khususnya warga keturunan Tionghoa, dan menyebutnya sebagai "rumor". Pernyataan ini dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap fakta sejarah yang telah terdata dan melukai perasaan para korban serta keluarga.

Koalisi pegiat hak asasi manusia (HAM) dengan tegas mengecam pernyataan tersebut, melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru. Komnas Perempuan juga menyampaikan keprihatinan mendalam, menekankan bahwa penyangkalan semacam ini justru memperparah luka para korban dan melanggengkan impunitas bagi para pelaku.

Ironisnya, Fadli Zon, yang dulunya dikenal sebagai bagian dari gerakan reformasi 1998, kini justru dianggap mengingkari fakta sejarah kelam yang dulu diperjuangkannya. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan komitmennya terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Tragedi Mei 1998: Fakta Kelam yang Terukir dalam Sejarah

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Tragedi ini mencatat berbagai tindakan kekerasan berbasis etnis dan gender, termasuk pemerkosaan massal yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa. Pemerintah pada saat itu membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menginvestigasi peristiwa tersebut.

TGPF berhasil mendokumentasikan setidaknya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk:

  • 52 kasus pemerkosaan massal
  • 14 kasus pemerkosaan yang disertai penganiayaan
  • 10 kasus penyerangan seksual
  • 9 kasus pelecehan seksual

Laporan TGPF diserahkan kepada Presiden B.J. Habibie, yang secara terbuka menyesalkan kekerasan tersebut dan mengesahkan pembentukan Komnas Perempuan sebagai bentuk komitmen negara untuk melindungi hak-hak perempuan. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 bukanlah sekadar rumor, melainkan fakta sejarah yang tercatat secara resmi.

Dampak Pengingkaran dan Urgensi Penegakan Keadilan

Meski negara telah mengakui pelanggaran HAM berat dalam Tragedi 1998, termasuk kekerasan seksual, penegakan hukum terhadap para pelaku masih jauh dari harapan. Lebih dari dua dekade berlalu, namun nyaris tak ada satu pun pelaku yang berhasil diadili. Kondisi ini membuka celah bagi narasi revisi sejarah yang meragukan atau bahkan menyangkal kebenaran.

Pernyataan Fadli Zon adalah contoh terbaru dari pola penyangkalan yang berpotensi menghapus fakta kelam demi kepentingan politik tertentu. Hal ini mengkhawatirkan karena dapat merusak ingatan kolektif bangsa dan menghambat upaya rekonsiliasi.

Galuh Wandita, seorang pengamat, menyoroti adanya ancaman terhadap saksi dan disinformasi terorganisir yang bertujuan mendiskreditkan laporan kekerasan seksual. Budaya bungkam yang dipicu oleh trauma, stigma, dan intimidasi membuat korban enggan bersaksi, yang kemudian disalahgunakan untuk menyangkal kejadian yang sebenarnya.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa laporan TGPF 1998 adalah dokumen resmi negara yang tidak dapat disangkal. Menyangkalnya sama saja dengan mengingkari kerja keras bangsa dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Mengapa Pengingkaran Kekerasan Seksual Tidak Dapat Diterima

Mengabaikan atau menyangkal kekerasan seksual, terutama oleh tokoh publik, memiliki konsekuensi serius:

  • Memperkuat ketidaksetaraan kekuasaan: Membungkam suara korban adalah bentuk kontrol sosial yang keji.
  • Melanggengkan impunitas: Mengirim pesan bahwa kejahatan seksual tidak serius dan tidak akan dihukum.
  • Memupuk budaya diam: Membuat korban takut untuk melapor karena malu, trauma, atau takut pembalasan.
  • Merupakan bentuk kekerasan struktural: Kegagalan negara melindungi korban dan memproses pelaku adalah bentuk kekerasan tidak langsung.
  • Menunjukkan krisis pengakuan dan empati: Menolak mengakui penderitaan korban adalah kegagalan etis yang mendalam.

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menekankan bahwa penyangkalan semacam itu hanya akan memperpanjang impunitas pelaku dan mengabaikan jeritan korban. Sikap ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang bertujuan untuk melindungi korban dan menghukum pelaku.

Mengutamakan Kebenaran dan Empati untuk Pemulihan Bangsa

Tragedi pemerkosaan massal 1998 bukan sekadar angka statistik, melainkan luka mendalam yang dirasakan oleh para korban seumur hidup mereka. Negara, sebagai pelindung rakyat, seharusnya mengakui dan menyembuhkan luka itu, bukan malah menyangkalnya.

Berdamai dengan masa lalu hanya mungkin dicapai dengan keterbukaan, kejujuran, dan pertanggungjawaban yang nyata. Penolakan Fadli Zon atas fakta sejarah ini patut dikecam dengan keras.

Di era ketika payung hukum sudah jauh lebih baik dan kesadaran publik tentang kekerasan seksual semakin meningkat, tidak ada ruang lagi bagi penyangkalan semacam ini. Fadli Zon dan para pemangku kuasa lainnya seharusnya meminta maaf secara tulus dan belajar dari suara korban serta data faktual yang telah tercatat.

Mengakui kebenaran pahit adalah satu-satunya cara bagi bangsa ini untuk bersatu dan melangkah maju, agar tragedi serupa tak terulang kembali. Ketidakpedulian terhadap penderitaan korban adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan nilai-nilai reformasi yang dulu diperjuangkan. Suara para penyintas yang sekian lama dibungkam, berhak untuk didengar dan diakui.