Ironi Trotoar di Pusat Jakarta: Pejalan Kaki Terpinggirkan di Kawasan Elite
Di jantung ibu kota, tepatnya di sekitar kawasan perbelanjaan Grand Indonesia, sebuah ironi mencolok terlihat jelas. Trotoar, yang seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, mengalami penyempitan ekstrem, memaksa warga untuk berjuang melewati celah sempit atau bahkan memilih berjalan di jalan raya yang ramai dan berbahaya.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan keselamatan dan hak pejalan kaki, terutama di kawasan yang seharusnya menjadi representasi kemajuan dan kenyamanan kota. Lebar trotoar di Jalan Teluk Betung I, misalnya, hanya berkisar antara 30 hingga 50 sentimeter, tidak memadai untuk menampung lalu lintas pejalan kaki yang padat, terutama pada jam-jam sibuk.
Seorang warga bernama Sulaeman mengungkapkan kesulitan yang dialaminya saat melintasi trotoar tersebut. "Saya yang badannya gede kayak enggak muat, kadang malah milih jalan kaki di jalan raya saja," ujarnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Gina, seorang pekerja di mal, yang merasa tidak nyaman lagi berjalan di trotoar karena ruangnya yang sempit. "Cuma muat satu orang, padahal pejalan kaki di sini ramai dan jalanan penuh," katanya.
Menyempitnya trotoar ini diduga akibat adanya alih fungsi sebagian area trotoar menjadi jalur kendaraan. Kondisi ini diperparah dengan pemasangan traffic cone dan water barrier yang tidak tertata rapi, semakin mempersempit ruang gerak pejalan kaki.
Kondisi trotoar yang memprihatinkan ini pertama kali menjadi sorotan publik setelah diunggah oleh akun X @drhaltekehalte, yang kemudian memicu berbagai komentar dan keluhan dari warganet. Banyak yang menyayangkan kondisi trotoar di kawasan elite yang seharusnya memberikan prioritas pada kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
Sampai saat ini, belum ada kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas penyempitan trotoar tersebut. Pemerintah Provinsi Jakarta maupun manajemen Grand Indonesia belum memberikan pernyataan resmi terkait hal ini.
Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, mempertanyakan dasar kebijakan pemangkasan trotoar tersebut. Ia menekankan pentingnya mempertahankan ruang bagi pejalan kaki di kawasan padat, terutama di sekitar pusat perbelanjaan yang terhubung dengan transportasi publik. Menurutnya, pusat perbelanjaan seharusnya membuka ruang bagi pejalan kaki, mengingat tidak semua pengunjung datang dengan kendaraan pribadi.
Yayat juga mengingatkan bahwa dalam hierarki transportasi, pejalan kaki seharusnya berada di posisi teratas, diikuti oleh pesepeda dan transportasi umum, sementara kendaraan pribadi berada di posisi paling bawah. Ia menekankan pentingnya etika kota yang menghargai hak pejalan kaki dan menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi mereka.
Kondisi trotoar yang memprihatinkan di kawasan elite Jakarta ini menjadi cerminan persoalan ruang antara kepentingan kendaraan pribadi dan hak publik untuk berjalan dengan aman. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan dalam mewujudkan kota yang inklusif dan berpihak pada pejalan kaki.
Dampak Negatif
- Mengurangi Keamanan Pejalan Kaki: Trotoar yang sempit memaksa pejalan kaki berjalan di jalan raya, meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas.
- Mengurangi Kenyamanan: Ruang yang sempit membuat pejalan kaki merasa tidak nyaman dan tertekan, terutama saat ramai.
- Mempengaruhi Aksesibilitas: Trotoar yang tidak memadai menyulitkan akses bagi penyandang disabilitas, lansia, dan orang tua dengan kereta bayi.
- Citra Kota: Kondisi trotoar yang buruk mencoreng citra kota sebagai kawasan elite dan modern.
- Berkurangnya minat berjalan kaki: Orang akan semakin malas berjalan kaki jika kondisi trotoar tidak nyaman dan aman.