Urgensi Mahkamah Etika Nasional dalam Membenahi Krisis Moral Bangsa

Krisis Moral dan Urgensi Penegakan Etika dalam Tata Kelola Negara

Bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan serius berupa krisis moral yang meresahkan berbagai lapisan masyarakat. Indikasi ke arah tersebut terlihat dari berbagai praktik penyelenggaraan negara yang sarat akan benturan kepentingan, minimnya keteladanan, serta menguatnya budaya kakistokrasi atau kliktokrasi yang menggerus nilai-nilai meritokrasi. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan etika, meskipun berbagai kode etik telah dimiliki oleh lembaga-lembaga negara.

Fenomena benturan kepentingan menjadi akar masalah yang sangat berbahaya. Penyelenggara negara yang seharusnya membuat kebijakan, justru memiliki kepentingan bisnis yang terkait dengan kebijakan tersebut. Hal ini menciptakan situasi di mana kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, bukan untuk kepentingan publik. Padahal, nilai-nilai etika kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti budaya malu, keteladanan, dan larangan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan, telah tertuang dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.

Gagasan Pembentukan Mahkamah Etika Nasional

Di tengah keprihatinan akan kondisi ini, muncul gagasan untuk melakukan penyempurnaan terhadap UUD 1945. Salah satu usulan yang mengemuka adalah pembentukan Mahkamah Etika Nasional sebagai puncak peradilan etika yang terpusat dan terpadu. Gagasan ini dilontarkan oleh Jimly Asshidiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Mahkamah Etika Nasional diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan pelanggaran etika yang selama ini terkesan dibiarkan. Lembaga ini akan menjadi benteng terakhir dalam menegakkan etika di berbagai bidang, mulai dari pemerintahan, politik, hingga ekonomi dan bisnis. Kehadirannya diharapkan dapat melengkapi sistem hukum yang sudah ada, sehingga sistem ketatanegaraan dan ketatabangsaan tidak hanya bertumpu pada rule of law, tetapi juga rule of ethic.

Untuk mewujudkan Mahkamah Etika Nasional, perlu dirumuskan Undang-Undang tentang Sistem Etika dan Peradilan Etika Nasional serta Undang-Undang tentang Larangan Rangkap Jabatan dan Benturan Kepentingan. Dengan demikian, landasan hukum yang kuat akan menjamin efektivitas dan independensi lembaga ini.

Tiga Catatan Kritis

Seiring dengan wacana amandemen UUD 1945, terdapat tiga catatan penting yang perlu diperhatikan:

  1. Bahaya Penyatuan Kekuasaan: Konsentrasi kekuasaan di satu tangan, baik di legislatif, eksekutif, yudikatif, media, pengusaha, maupun organisasi masyarakat, berpotensi mengarah pada totalitarianisme. Pembatasan yang jelas terhadap atribusi presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, penguasa tertinggi atas angkatan bersenjata, ketua partai, dan kepala keluarga, sangat diperlukan untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
  2. Diskoneksi Elite dan Massa: Keterputusan hubungan antara elite dan massa, partai politik dan anggotanya, serta wakil rakyat dan rakyat, menjadi masalah serius. Wakil rakyat cenderung lebih dekat dengan oligarki partai daripada dengan pemilihnya. Hal ini menyebabkan aspirasi rakyat sulit tersalurkan dan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan semakin menurun.
  3. Supremasi Konstitusi: Perlu ditegaskan bahwa konstitusi harus menjadi hukum tertinggi dalam negara. Praktik mengakali konstitusi atau menempatkan kekuatan politik di atasnya harus diakhiri. Supremasi konstitusi adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan keadilan dalam sistem ketatanegaraan.

Dengan mengatasi ketiga masalah tersebut dan membentuk Mahkamah Etika Nasional, diharapkan krisis moral bangsa dapat diatasi dan tata kelola negara yang bersih dan berintegritas dapat terwujud.