Jeritan Gen Z: Ketika Tuntutan Kerja Memicu Kelelahan Mental

Generasi Z, yang dikenal dengan kemampuan adaptasi dan semangat inovasinya, kini menghadapi tantangan berat di dunia kerja. Tekanan yang tinggi dan lingkungan kerja yang kurang mendukung menjadi pemicu utama burnout, sebuah kondisi kelelahan mental dan emosional yang dapat mengganggu kinerja dan kesejahteraan individu.

Yasmin, Staf Marketing yang Tertekan

Yasmin (27), seorang staf marketing di sebuah perusahaan pengembang perumahan di Bekasi, Jawa Barat, merasakan betul dampak dari burnout. Ia mengaku tertekan dengan tugas-tugas di luar deskripsi pekerjaannya, seperti menagih angsuran konsumen, sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai staf marketing. Tekanan ini diperparah dengan makian dan sumpah serapah dari konsumen yang tidak puas, terutama saat terjadi banjir besar yang merugikan banyak pihak.

"Titik terberatnya saat banjir lima tahunan itu. Saya dihujat habis-habisan sama konsumen, disumpahin, dimaki-maki," ungkap Yasmin, menggambarkan betapa beratnya tekanan yang ia rasakan.

Selain tekanan dari konsumen, Yasmin juga menghadapi lingkungan kerja yang kurang mendukung. Ia merasa atasannya tidak memiliki value yang cukup untuk mengembangkan potensi karyawan. Kondisi ini membuatnya semakin tertekan dan kehilangan motivasi.

Siti, Jurnalis Muda yang Merasa Terbebani

Kisah serupa dialami oleh Siti (24), seorang jurnalis muda di sebuah media daring. Baru terjun ke dunia jurnalistik, Siti langsung ditempatkan di pos yang dikenal memiliki beban kerja yang sangat tinggi, yaitu isu perkotaan. Ia merasa tertekan karena harus menggantikan senior-senior yang sudah sangat berpengalaman dan memiliki rekam jejak yang luar biasa.

"Aku merasa ada tekanan karena langsung ditaruh di pos yang dikenal sebagai 'istana' anak-anak metropolitan. Aku merasa pos ini besar," kata Siti, menggambarkan perasaannya saat pertama kali bertugas di pos tersebut.

Siti belum terbiasa dengan jam kerja yang tidak menentu dan banyaknya permintaan dari redaksi untuk menulis berbagai macam topik dalam waktu yang bersamaan. Ia juga merasa insecure karena merasa belum sekompeten senior-seniornya.

"Aku masih merasa insecure, kurang percaya diri, karena seorang fresh graduate. Ditambah vibe kerja di pos ini beda karena wartawan lainnya sudah pada senior, aku sendiri baru mulai banget. Dan permintaan dari kantor banyak," jelasnya.

Strategi Mengatasi Burnout

Meskipun mengalami burnout, Yasmin dan Siti berusaha untuk tetap menikmati pekerjaan mereka. Keduanya menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.

Yasmin memilih untuk melakukan me time dan melakukan hal-hal yang membuatnya senang di waktu luangnya. Sementara itu, Siti lebih sering berdiskusi dengan senior-seniornya untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi.

"Aku banyak sharing dengan mereka soal burnout yang aku rasakan. Sejauh ini cara itu efektif karena aku sudah enggak merasakannya lagi. Kalau merasakannya lagi, aku tinggal sharing lagi," ujar Siti.

Kisah Yasmin dan Siti adalah contoh nyata bagaimana tekanan di dunia kerja dapat memicu burnout pada generasi Z. Penting bagi perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung, serta memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.