Prevalensi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia Mengkhawatirkan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa permasalahan ini masih menjadi tantangan serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan komprehensif.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, terungkap bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidup mereka. Fakta ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kisah-kisah pilu, trauma mendalam, penderitaan berkepanjangan, serta dampak negatif yang meluas, baik dari sisi fisik, psikologis, kesehatan mental, ekonomi, maupun sosial.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) juga memberikan gambaran yang mengkhawatirkan. Survei ini menunjukkan bahwa:
- 1 dari 2 anak mengalami kekerasan emosional.
- 9 dari 100 anak pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPPA) semakin memperkuat urgensi permasalahan ini. Sejak Januari hingga 12 Juni 2024, tercatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah korban mencapai 12.604 orang, dengan mayoritas korban, yaitu lebih dari 10.000 orang, adalah perempuan. Jenis kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan seksual, dengan jumlah mencapai 5.246 kasus. Ironisnya, kekerasan seksual ini seringkali terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman, yaitu rumah tangga.
Menteri PPPA menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya sekadar kewajiban moral, melainkan juga amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Mengingat kompleksitas dan multidimensi permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi. Pendekatan ini harus mencakup upaya pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban.
Kerja sama antar lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, dan seluruh elemen masyarakat menjadi sangat krusial dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menteri PPPA juga menyoroti peran penting paralegal dalam mendampingi korban, terutama dalam situasi yang paling rentan. Paralegal berfungsi sebagai jembatan antara korban dengan sistem hukum, membantu mereka dalam menyiapkan dokumen hukum yang diperlukan dan membuka akses terhadap keadilan.
Pelatihan paralegal diharapkan dapat memberikan dampak positif dan memperkuat kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan. Dengan adanya paralegal yang terlatih dan kompeten, diharapkan korban kekerasan dapat memperoleh pendampingan dan bantuan yang lebih efektif, sehingga mereka dapat pulih dari trauma dan mendapatkan keadilan yang seharusnya.