Polemik Kepulauan Aceh-Sumut Memanas: DPR Mendesak Penyelesaian Sengketa Demi Kedaulatan

Sengketa Empat Pulau: Perebutan Wilayah Aceh dan Sumatera Utara Mendorong Intervensi DPR

Anggota Komisi II DPR RI, Romy Soekarno, dari Fraksi PDI Perjuangan, menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang terhadap regulasi yang mengatur status empat pulau yang kini menjadi pusat sengketa antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Pulau-pulau tersebut, yang secara historis dan administratif merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, kini terancam beralih status.

"Saya sangat menyesalkan penerbitan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara," tegas Romy dalam pernyataan persnya. "Ini bukan sekadar masalah batas wilayah, melainkan menyangkut kedaulatan dan keadilan bagi masyarakat Aceh." Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam akan potensi dampak destabilisasi akibat keputusan tersebut.

Romy menekankan bahwa peninjauan ulang harus mempertimbangkan aspek historis, sosial, dan dokumen resmi yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh Singkil. Dia memperingatkan bahwa keputusan sepihak tanpa partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan dapat memicu konflik horizontal antar daerah. Pemerintah, menurutnya, harus mempertimbangkan bukti historis yang kuat, termasuk SK Inspeksi Agraria Aceh No. 125/IA/1965 yang menetapkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Aceh sejak tahun 1965.

Bukti Historis dan Upaya Mediasi

Selain SK Inspeksi Agraria, Romy juga menyoroti bukti-bukti lain yang menguatkan klaim Aceh, seperti Peta TNI AD tahun 1978 yang mencantumkan pulau-pulau tersebut dalam wilayah Aceh Singkil, Kesepakatan Gubernur Aceh-Sumut atas Pengakuan batas administratif Tahun 1992 dan 2009, serta bukti fisik seperti tugu, dermaga, dan makam wali di pulau-pulau tersebut. Bukti-bukti ini, menurutnya, tidak boleh diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

"Saya mendukung penuh langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Aceh, termasuk pengumpulan bukti historis dan advokasi hukum terhadap keputusan tersebut. Pemerintah pusat tidak boleh mengabaikan aspirasi masyarakat Aceh yang merasa dirugikan," lanjutnya. Dukungan ini mencerminkan komitmen untuk membela kepentingan daerah dan memastikan keadilan ditegakkan.

Romy mengimbau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membuka ruang dialog antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dengan fasilitasi dari Kemendagri, Komisi II DPR RI, serta lembaga terkait lainnya. Ia juga mengusulkan pembentukan Tim Mediasi Nasional yang melibatkan Anggota DPR RI, Kemendagri, Kemenkumham, ahli sejarah, serta perwakilan Aceh-Sumut. Selain itu, ia mendorong dilakukannya Audit Nasional Database Pulau yang melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan BRIN untuk verifikasi ulang kepemilikan pulau secara ilmiah-historis.

Menjaga Integritas NKRI dan Keadilan Bagi Aceh

Di sisi lain, Romy menegaskan bahwa Komisi II DPR RI wajib menjaga integritas NKRI dengan menghormati keadilan bagi Aceh, serta mengawal prinsip daerah otonom sebagai mitra, bukan bawahan. Ia menekankan bahwa sengketa wilayah harus diselesaikan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan berdasarkan fakta-fakta yang objektif.

"Kita tidak ingin masyarakat menjadi korban karena kelalaian administratif atau ketidakakuratan data," pungkasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya ketelitian dan kehati-hatian dalam menyelesaikan sengketa wilayah agar tidak merugikan masyarakat.

Sebelumnya, keputusan Kemendagri mengenai status empat pulau yang sebelumnya merupakan bagian dari Aceh menjadi milik Sumatera Utara telah memicu gejolak. Keputusan ini dikritisi dan dipertanyakan oleh berbagai pihak, mengingat konflik perebutan wilayah yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Pemprov Aceh mengklaim memiliki jejak historis di keempat pulau tersebut, sementara Pemprov Sumut memiliki dasar dari hasil survei yang dilakukan oleh Kemendagri. Aturan yang menjadi dasar sengketa ini adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Empat pulau yang menjadi objek sengketa adalah Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.

Berikut adalah poin-poin penting yang mendasari konflik ini:

  • Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025: Regulasi ini menjadi pemicu utama konflik, mengubah status administratif pulau-pulau tersebut.
  • Klaim Historis Aceh: Pemerintah Provinsi Aceh mengklaim memiliki bukti historis yang kuat atas kepemilikan pulau-pulau tersebut.
  • Survei Kemendagri: Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mendasarkan klaimnya pada hasil survei yang dilakukan oleh Kemendagri.
  • Potensi Konflik Horizontal: Keputusan sepihak tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan berpotensi memicu konflik antar daerah.

Sengketa ini menjadi ujian bagi pemerintah pusat dalam menegakkan keadilan dan menjaga stabilitas wilayah, serta memastikan bahwa aspirasi masyarakat daerah didengar dan dipertimbangkan dalam setiap pengambilan keputusan.