Dilema Warga Muara Angke: Bertahan di Tengah Banjir Rob atau Pindah dan Beradaptasi

Jakarta Utara, khususnya kawasan Muara Angke, seolah tak bisa lepas dari bayang-bayang banjir rob. Air laut pasang menjadi pemandangan sehari-hari, menggenangi jalanan dan merendam rumah-rumah warga. Kondisi ini tentu bukan ideal, namun paradoksnya, banyak warga memilih untuk tetap bertahan di tengah situasi yang kurang nyaman ini.

Alasan utama dibalik keputusan ini ternyata cukup kompleks, berakar pada kepemilikan rumah dan kekhawatiran akan biaya hidup yang membengkak jika harus pindah. Bagi sebagian besar warga Muara Angke, rumah yang mereka tinggali adalah aset berharga, warisan turun temurun yang sulit untuk dilepaskan. Pindah berarti harus memulai dari awal, mencari kontrakan atau hunian di rumah susun (rusun) dengan segala konsekuensi biaya sewanya.

Beberapa warga juga mengungkapkan keengganan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka di Muara Angke, menjalin ikatan sosial yang kuat dengan tetangga dan komunitas sekitar. Pindah berarti harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali di tempat yang asing.

Berikut adalah beberapa alasan warga enggan pindah:

  • Kepemilikan Rumah: Rumah adalah aset berharga dan tempat tinggal tetap.
  • Kekhawatiran Biaya Hidup: Biaya sewa kontrakan atau rusun akan menambah beban ekonomi.
  • Adaptasi Lingkungan: Keengganan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas baru.
  • Kebiasaan: Sudah terbiasa dengan kondisi banjir rob yang terjadi setiap hari.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi masalah banjir rob di Muara Angke dan wilayah pesisir lainnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembangunan tanggul mitigasi banjir rob. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, baru-baru ini meninjau langsung proyek pembangunan tanggul di Muara Angke. Tanggul sepanjang 1,4 kilometer ini diharapkan dapat meminimalkan dampak banjir rob bagi warga sekitar.

Pembangunan tanggul ini merupakan bagian dari program Giant Sea Wall yang digagas oleh pemerintah pusat. Tanggul yang sedang dibangun memiliki elevasi 1,8 meter dan akan ditingkatkan menjadi 2,5 meter pada Desember 2025. Diharapkan, dengan adanya tanggul ini, air rob tidak akan lagi menggenangi permukiman warga.

Tanggul mitigasi banjir rob rencananya akan dibangun di beberapa titik rawan banjir di Jakarta, seperti Muara Angke, Pluit, Muara Baru, Sunda Kelapa, Marunda (Rumah Si Pitung), dan Jalan RE Martadinata. Pembangunan tanggul ini merupakan solusi jangka menengah, sambil menunggu pembangunan tanggul laut atau Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN/NCICD) yang diperkirakan rampung pada tahun 2030.

Meski demikian, pembangunan tanggul saja tidak cukup. Perlu ada solusi komprehensif yang melibatkan berbagai aspek, termasuk penataan ruang, pengelolaan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat. Yang jelas, masalah banjir rob di Muara Angke adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi jangka panjang dan berkelanjutan.