Polemik Status Karyawan Ojol: Grab Indonesia Soroti Potensi Dampak Negatif Bagi Pengemudi

Polemik Status Karyawan Ojol: Grab Indonesia Soroti Potensi Dampak Negatif Bagi Pengemudi

Wacana mengenai perubahan status pengemudi ojek online (ojol) menjadi karyawan tetap kembali mencuat, memicu berbagai tanggapan dari pelaku industri. Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi, mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi dampak negatif yang mungkin timbul jika wacana tersebut direalisasikan. Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Selatan, Jumat malam (13/6/2025), Neneng menyoroti bahwa perubahan status dari mitra menjadi karyawan dapat menimbulkan permasalahan baru bagi para pengemudi.

Menurut Neneng, jumlah mitra pengemudi ojol di Indonesia sangat besar. Jika skema karyawan diterapkan, perusahaan aplikator seperti Grab hanya akan mampu menyerap sekitar 17 persen dari total pengemudi yang ada. Hal ini berarti sebagian besar pengemudi ojol akan kehilangan sumber pendapatan mereka.

"Kebayang kalau di Indonesia hanya 17 persen yang bisa diserap, yang lain mau ke mana? Bagaimana mereka mendapatkan income?" ujar Neneng.

Lebih lanjut, Neneng menjelaskan bahwa perusahaan aplikator juga akan terbebani jika harus mengangkat seluruh pengemudi menjadi karyawan. Perusahaan akan memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak karyawan, seperti gaji pokok, tunjangan, dan jaminan sosial. Selain itu, proses seleksi untuk menjadi karyawan juga akan sangat ketat, dan ada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) jika pengemudi tidak memenuhi standar kerja perusahaan.

"Begitu dia di-PHK, panik cari kerja, kan enggak gampang, kecuali memang banyak sekali lapangan pekerjaan tersedia," jelasnya.

Neneng berpendapat bahwa model kemitraan yang saat ini berlaku masih merupakan pendekatan yang paling tepat dalam ekosistem kerja pengemudi ojol. Model ini memberikan fleksibilitas kepada pengemudi untuk mengatur waktu kerja mereka sendiri dan menentukan besaran pendapatan yang ingin mereka peroleh.

Untuk memberikan gambaran mengenai potensi pendapatan yang bisa diraih oleh pengemudi ojol, Neneng memaparkan data pendapatan mitra pengemudi roda dua kategori jawara di Grab. Pada periode 1-30 April 2025, pengemudi jawara di Bali mampu meraih pendapatan hingga Rp 6.839.136. Sementara itu, pengemudi dengan kategori yang sama di Makassar, Sulawesi Selatan, memperoleh pendapatan sebesar Rp 6.480.518.

Neneng menjelaskan bahwa pengemudi jawara umumnya sangat fokus pada profesi yang mereka jalankan dan tidak menggunakan lebih dari satu aplikasi. Mereka bekerja rata-rata 25 hari dalam sebulan, dengan jam kerja sekitar 6 jam per hari dan jumlah orderan sekitar 20 per hari.

"Jadi kalau dilihat ini dia sangat benar-benar fokus dan dia hanya menggunakan satu aplikasi makanya bisa dapet segini (Rp6,8 juta). Kan teman-teman tau ya, di sini itu teman-teman driver itu banyak yang punya empat sampai lima aplikasi," papar Neneg.

Di sisi lain, pengemudi tipe anggota memiliki pendapatan yang lebih rendah, yaitu sekitar Rp 1.618.159. Hal ini disebabkan karena mereka hanya bekerja rata-rata 13 hari dalam sebulan, dengan jam kerja 3 jam per hari dan jumlah orderan kurang dari sembilan.

"Nah yang berikutnya adalah kalau dilihat ini adalah yang anggota dia dapetnya Rp1,6 juta, Kenapa? Karena dia juga cuma nariknya average-nya cuma 13 hari kok, terus jumlah jam nariknya juga cuma 3 jam," beber Neneng.

"Mungkin pagi-pagi dia narik sebentar sebelum ke kantor gitu ya, terus siang dia narik sebentar sambil makan, sambil dia narik. Atau malam dia sambil pulang, sambil bawa penumpang juga gitu, jumlah orderannya 9, pendapatannya segini," lanjunya.

Dengan demikian, polemik mengenai status karyawan ojol masih terus berlanjut. Perlu adanya kajian yang lebih mendalam mengenai dampak positif dan negatif dari perubahan status ini, serta mencari solusi yang terbaik bagi seluruh pihak yang terlibat.