Perbedaan Standar Pengukuran Kemiskinan Jadi Sorotan: Respons Danantara Terhadap Data Bank Dunia

Perhitungan standar kemiskinan yang digunakan Bank Dunia terhadap Indonesia menuai tanggapan dari berbagai pihak. CEO Badan Pengelola Investasi Danantara, Rosan P. Roeslani, menyoroti perbedaan parameter yang digunakan Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan, terutama jika dibandingkan dengan standar yang diterapkan di negara-negara berkembang.

Rosan menjelaskan bahwa Bank Dunia menggunakan standar batas kemiskinan sebesar 8,5 dollar AS per hari, jauh lebih tinggi dari standar yang digunakan Indonesia, yaitu sekitar 2 hingga 3,25 dollar AS per hari. Perbedaan ini, menurutnya, menjadi penyebab utama perbedaan signifikan dalam angka kemiskinan yang dilaporkan. Ia menambahkan bahwa standar yang diterapkan Bank Dunia mungkin lebih relevan untuk negara-negara maju dengan taraf hidup dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi.

Dalam sebuah acara di Universitas Paramadina, Rosan menyebutkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia saat ini berada di atas 5.000 dollar AS per tahun dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 12.500 dollar AS per tahun pada tahun 2045. Data ini menunjukkan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang signifikan, meskipun masih tergolong sebagai negara berkembang.

Sebelumnya, laporan Bank Dunia dalam Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentase penduduk miskin terbanyak keempat di dunia, mencapai 60,3 persen. Angka ini didasarkan pada standar Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke atas, yaitu 6,85 dollar AS per kapita per hari. Standar ini jauh lebih tinggi daripada standar kemiskinan internasional yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu 2,15 dollar AS per kapita per hari, serta standar untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, yaitu 3,65 dollar AS per kapita per hari.

Per Juni 2025, Bank Dunia memperbarui standar penghitungan garis kemiskinan dan ketimpangan, dengan mengubah penghitungan dari purchasing power parities (PPP) 2017 menjadi PPP 2021. Perubahan ini berdampak signifikan pada angka kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Garis kemiskinan global meningkat dari 2,15 dollar AS menjadi 3 dollar AS per orang per hari, sementara untuk negara berpendapatan menengah atas, garis kemiskinan meningkat dari 6,85 dollar AS menjadi 8,30 dollar AS per orang per hari.

Akibat perubahan ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 68,25 persen dari total populasi pada tahun 2024, atau sekitar 194,67 juta jiwa. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan menggunakan PPP 2017, yang menunjukkan angka kemiskinan sebesar 60,25 persen atau 171,74 juta jiwa.

Perubahan metodologi perhitungan kemiskinan oleh Bank Dunia ini memicu perdebatan tentang relevansi dan validitas data yang dihasilkan. Perbedaan standar dan parameter yang digunakan dapat menghasilkan gambaran yang berbeda tentang tingkat kemiskinan di suatu negara. Oleh karena itu, penting untuk memahami metodologi yang digunakan dan mempertimbangkan konteks sosio-ekonomi negara yang bersangkutan dalam menganalisis data kemiskinan.