Indonesia Perluas Fokus Kebijakan Luar Negeri ke Asia Selatan
Indonesia, sebagai kekuatan menengah yang berupaya memperkuat solidaritas Global Selatan, menjadikan Indo-Pasifik sebagai fokus utama kebijakan luar negerinya. Namun, kawasan Asia Selatan, yang merupakan bagian penting dari wilayah geografis yang luas ini, seringkali terabaikan dalam perencanaan strategis Jakarta.
Selama satu dekade terakhir, keterlibatan Indonesia di Asia Selatan didominasi oleh hubungan dengan India. Hal ini dapat dimengerti mengingat India adalah ekonomi terbesar di kawasan itu, kekuatan global yang sedang berkembang, dan mitra penting dalam pertahanan, kerja sama maritim, dan pengembangan digital. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke New Delhi pada Januari 2025, yang merupakan kunjungan bilateral pertamanya di luar ASEAN, menghasilkan beberapa nota kesepahaman di bidang kesehatan, teknologi, dan pertahanan, semakin memperkuat India sebagai sekutu strategis.
Namun, kebijakan Indonesia di Asia Selatan cenderung terlalu terpusat pada India. Negara-negara lain seperti Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Bhutan, dan Maladewa kurang mendapatkan perhatian diplomatik. Minimnya kunjungan tingkat tinggi, kerangka ekonomi yang terbatas, serta sedikitnya pertukaran budaya dan pendidikan menunjukkan adanya kekosongan strategis. Ketidakhadiran Asia Selatan dalam cetak biru kebijakan luar negeri utama, seperti ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) atau pernyataan penting dari Kementerian Luar Negeri, mencerminkan pengabaian ini.
Pendekatan selektif ini berisiko menimbulkan kerugian geopolitik jangka panjang. Bangladesh, misalnya, telah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas enam persen selama dekade terakhir dan akan segera naik kelas dari status Negara Kurang Berkembang (LDC) pada tahun 2026. Negara ini juga memperdalam integrasi regional melalui inisiatif seperti BIMSTEC. Namun, keterlibatan Jakarta dengan Dhaka masih terbatas dan terfragmentasi.
Pakistan, meskipun menghadapi tantangan internal, menawarkan potensi di sektor-sektor seperti industri halal, pendidikan, dan kerja sama pertahanan. Lokasi geostrategis Sri Lanka di Samudra Hindia, diperkuat oleh investasi Tiongkok di Hambantota dan Kota Pelabuhan Kolombo, menjadikannya pusat logistik yang penting. Sementara itu, Nepal dan Bhutan muncul sebagai pemimpin baru di bidang tenaga air dan keberlanjutan. Bahkan Afghanistan, dalam kondisi yang rapuh, memberikan peluang bagi Indonesia untuk berkontribusi pada pembangunan perdamaian dan penyelesaian konflik, bidang di mana Jakarta memiliki kredibilitas dan pengalaman yang signifikan.
Secara lebih luas, Asia Selatan adalah rumah bagi lebih dari 1,9 miliar orang dan berfungsi sebagai jembatan antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Terlalu fokus pada India tidak hanya mempersempit jangkauan diplomasi Indonesia tetapi juga melemahkan aspirasinya sebagai kekuatan menengah dan suara yang kredibel dari Global Selatan.
Ketegangan baru-baru ini antara India dan Pakistan, termasuk konflik militer dan retorika nuklir yang meningkat, semakin menyoroti volatilitas kawasan ini. Dalam situasi seperti ini, Indonesia, dengan warisannya sebagai pendiri Gerakan Non-Blok (GNB) dan mediator diplomatik, dapat dan harus memainkan peran yang lebih aktif. Inisiatif simbolis, seperti menyelenggarakan dialog lintas batas atau menawarkan bantuan kemanusiaan, akan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap perdamaian dan memperkuat kredibilitas internasionalnya.
Penekanan AOIP pada inklusivitas, konektivitas, dan pembangunan sejalan dengan aspirasi negara-negara Asia Selatan di luar India. Strategi "Asia Selatan Plus", yang mencakup kunjungan tingkat tinggi baru ke Dhaka, Islamabad, dan Kolombo, perluasan beasiswa dan diplomasi akademis, serta penguatan kedutaan besar dengan spesialis di wilayah tersebut, akan memperluas jejak regional Indonesia secara signifikan.
Selain itu, organisasi masyarakat sipil Indonesia seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dapat dimobilisasi untuk memperdalam hubungan akar rumput, terutama di negara-negara mayoritas Muslim seperti Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Diplomasi berbasis agama dan pertukaran antar masyarakat masih kurang dimanfaatkan, padahal merupakan alat yang ampuh dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Asia Selatan terlalu strategis, terlalu padat penduduknya, dan terlalu dekat untuk diabaikan. Jika Indonesia ingin membentuk tatanan Indo-Pasifik, Indonesia harus mengkalibrasi ulang pendekatannya terhadap Asia Selatan, bukan sebagai pinggiran, tetapi sebagai lingkungan yang vital. Saatnya bertindak adalah sekarang, sebelum pihak lain memanfaatkan kesempatan ini.