Gereja Immanuel Semarang: Ikon Kota Lama dan Saksi Bisu Sejarah Kolonial
Gereja Immanuel, yang lebih dikenal dengan sebutan Gereja Blenduk, berdiri kokoh di tengah denyut nadi kawasan Kota Lama Semarang. Bangunan megah ini bukan hanya sekadar tempat ibadah, melainkan juga sebuah monumen hidup yang menyimpan jejak panjang sejarah kolonial, keberagaman keyakinan, dan keindahan arsitektur lintas zaman.
Gereja ini pertama kali didirikan pada tahun 1753, pada masa ketika Semarang mulai berkembang menjadi pusat permukiman kolonial Belanda. Kehadiran gereja menjadi simbol penting bagi masyarakat Eropa di tanah Jawa, melengkapi fasilitas-fasilitas lain seperti kantor pemerintahan, gudang senjata, dan tempat rekreasi.
Pada awalnya, bangunan gereja sangatlah sederhana. Seorang penjelajah pada abad ke-18 menggambarkan gereja Protestan pertama di Semarang sebagai sebuah bangunan panggung bergaya Jawa. Namun, bangunan tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun 1787, gereja dibongkar dan dibangun kembali dengan struktur yang lebih kuat. Kemudian, pada tahun 1794, gereja kembali dirobohkan dan dibangun ulang dengan desain yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini.
Arsitektur Gereja Immanuel yang sekarang adalah hasil dari pembangunan tahun 1794. Dua menara kembar yang menjulang tinggi dan kubah besar yang ikonik menjadikan gereja ini sebagai salah satu bangunan paling mencolok di Kota Lama Semarang. Pada masanya, gereja ini bahkan dijuluki sebagai "perhiasan Hindia Belanda" oleh seorang penulis Belanda bernama T.H. van Sypesteyn.
Nama "Blenduk" sendiri bukanlah nama resmi gereja. Dalam catatan pemerintah kolonial, gereja ini dikenal sebagai Gereja Protestan Immanuel. Nama "Blenduk" berasal dari masyarakat Jawa, yang merujuk pada bentuk atapnya yang cembung atau "mblenduk" dalam bahasa Jawa.
Sejarah Gereja Immanuel juga mencatat momen unik ketika, pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels di bawah kekuasaan Napoleon, umat Katolik diizinkan untuk menggunakan gereja ini sebagai tempat ibadah. Hal ini menjadi pengecualian, karena sebelumnya gereja ini hanya diperuntukkan bagi umat Protestan sebagai agama resmi Belanda.
Setelah kekuasaan kolonial Belanda pulih, umat Katolik tidak lagi dapat menggunakan gereja ini dan mulai mencari tempat ibadah sendiri, yang kemudian didirikan di kawasan Gedangan.
Pada tahun 1894, Gereja Immanuel mengalami renovasi besar. Arsitek Westmaas dan H.P.A. de Wilde memperkuat struktur bangunan yang telah berdiri selama satu abad tanpa mengubah desain aslinya. Renovasi ini terutama difokuskan pada bagian kubah dan menara, untuk memastikan keindahan arsitektur tetap terjaga tanpa menghilangkan nilai sejarahnya.
Gereja Immanuel bukan hanya sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang Kota Semarang. Gereja ini menjadi simbol keberagaman, ketahanan, dan keindahan arsitektur yang terus mempesona hingga saat ini.