Limbah Minyak Jelantah: Dari Masalah Lingkungan Menuju Peluang Ekonomi di Yogyakarta
Yogyakarta Digegerkan Tumpahan Minyak Jelantah: Sebuah Ironi di Balik Bisnis Horeka
Pada awal November 2023, Yogyakarta dikejutkan oleh fenomena tak terduga: munculnya minyak jelantah di kawasan Tugu, ikon kota. Insiden ini bukan disebabkan oleh hujan deras, melainkan luapan minyak jelantah dari gorong-gorong bawah tanah. Investigasi mengungkap bahwa penumpukan minyak jelantah ini disebabkan oleh pembuangan limbah yang tidak menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Ledakan bisnis Horeka (Hotel, Restoran, dan Kafe) di sekitar Tugu menjadi salah satu faktor utama. Volume minyak jelantah yang dihasilkan meningkat pesat, membebani sistem drainase kota. Sifat minyak yang mudah mengental, ditambah curah hujan yang tidak cukup deras untuk membersihkan saluran, menyebabkan minyak jelantah yang lama mengendap mencair dan meluber ke permukaan.
Dilema Masyarakat dan Potensi Daur Ulang Minyak Jelantah
Kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya daur ulang minyak jelantah menjadi masalah krusial. Kekhawatiran masyarakat untuk menjual kembali minyak jelantah, karena takut berkontribusi pada praktik daur ulang ilegal menjadi penghalang. Padahal, minyak jelantah yang dimurnikan secara ilegal hanya akan terlihat jernih dalam waktu singkat, dan penipuan ini mudah dideteksi dengan risiko hukum yang besar. Saat ini, para penggiat bank sampah sudah jarang mendengar praktik pemurnian minyak jelantah ilegal (reuse).
Kampanye untuk mengurangi konsumsi minyak goreng terus digencarkan, seiring dengan tingginya konsumsi gorengan di Indonesia. Statistik menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pengonsumsi minyak goreng sawit terbesar di dunia, dengan angka mencapai 18,69 juta metrik ton pada tahun 2022/2023.
Dari total konsumsi tersebut, hanya sekitar 5% yang didaur ulang, sebagian besar berasal dari industri makanan dan minuman. Kejadian di Tugu Jogja seharusnya tidak terjadi jika masyarakat memahami potensi daur ulang minyak jelantah menjadi bioavtur dan biosolar.
Minyak Jelantah: 'Tambang Emas' yang Terabaikan
Komunitas bank sampah dan aktivis lingkungan telah lama menyadari bahwa minyak jelantah adalah komoditas bernilai. Satu liter minyak jelantah dari rumah tangga dapat dihargai antara Rp. 6.000 - Rp. 7.500, bahkan tanpa perlu diolah, cukup disaring dari sisa penggorengan. Kejujuran penyetor minyak jelantah menjadi kunci, terutama dalam memastikan tidak ada campuran oli bekas.
Minyak jelantah berpotensi menjadi 'tambang emas' baru. Di Yogyakarta, program bank sampah bekerja sama dengan Perum Pegadaian untuk mengubah minyak jelantah menjadi aset berharga. Setiap setoran minyak jelantah akan dikonversi menjadi saldo emas di Pegadaian. Contohnya, setoran 2 liter minyak jelantah senilai Rp. 14.000 akan langsung masuk ke rekening penyetor dalam bentuk saldo emas.
Peran Pertamina dalam Pemanfaatan Minyak Jelantah
Pertamina juga aktif dalam memanfaatkan potensi minyak jelantah menjadi bioavtur. Meskipun kandungan Bio-Avtur (Sustainable Aviation Fuel-SAF) dari olahan minyak jelantah baru sekitar 5-6% dari total penggunaan avtur dunia, langkah ini menjanjikan. Pada tahun 2024, PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) berencana untuk memungkinkan penukaran minyak jelantah dengan minyak goreng sawit curah baru, dengan rasio 1 banding 1 di tingkat pengepul besar. Minyak goreng sawit, yang merupakan berkah bagi Indonesia, belum dimanfaatkan secara maksimal.
Pertamina telah meluncurkan program pengumpulan minyak jelantah melalui aplikasi UCOllect box, hasil kolaborasi dengan Noovoleum. Program ini memungkinkan masyarakat menukarkan minyak jelantah dengan saldo e-wallet atau voucher MyPertamina. Beberapa SPBU Pertamina Patra Niaga juga difungsikan sebagai tempat penampungan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
Potensi Ekonomi yang Besar: Menambang Sampah untuk Kesejahteraan
Data dari eksportir menunjukkan bahwa harga pembelian minyak jelantah oleh negara tujuan ekspor (seperti Singapura) bisa mencapai 10 kali lipat dari harga di tingkat rumah tangga. Artinya, jika dikelola dengan baik, penambangan sampah minyak jelantah berpotensi memberikan keuntungan besar di setiap tingkatan rantai pasok.
Ekspor minyak jelantah bisa mencapai 400 ton per bulan per eksportir. Dengan asumsi setiap tingkatan pengepul mengambil keuntungan seribu rupiah per liter, Indonesia berpotensi menciptakan banyak orang kaya baru dari bisnis ini. Pelajaran dari komoditas karet harus menjadi perhatian. Pemerintah pusat dan daerah perlu memberikan perhatian serius pada potensi ekonomi dari pengelolaan sampah, khususnya minyak jelantah.
Oleh: Romeyn Perdana Putra, Pemerhati Lingkungan Hidup, Periset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler, Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, BRIN.