Perbedaan Pandangan PBNU dan Greenpeace Terkait Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Perbedaan pendapat muncul antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Greenpeace Indonesia mengenai keberadaan dan pengelolaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Sementara PBNU menekankan potensi manfaat yang bisa diperoleh dari aktivitas pertambangan yang dikelola dengan baik, Greenpeace bersikeras menolak keberadaan tambang, khususnya di pulau-pulau kecil.
Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, berpendapat bahwa kegiatan pertambangan tidak serta merta berdampak negatif pada lingkungan. Menurutnya, selama dikelola secara bertanggung jawab dan memperhatikan aspek keberlanjutan, tambang dapat memberikan kontribusi positif. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara menjaga kelestarian lingkungan dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat. Ulil juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencabut izin operasional empat perusahaan tambang di Raja Ampat, sebagai bentuk komitmen terhadap perbaikan tata kelola pertambangan.
Di sisi lain, Greenpeace Indonesia melalui Juru Kampanye Hutan, Iqbal Damanik, menyoroti potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Iqbal Damanik mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut izin PT Gag Nikel. Ia merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024 yang melarang aktivitas penambangan di pulau-pulau dengan luas kurang dari 10.000 hektar. Greenpeace menilai bahwa keberadaan tambang di pulau-pulau kecil melanggar regulasi tersebut dan mengancam ekosistem yang rentan.
Berikut poin-poin penting dari perbedaan pandangan tersebut:
- PBNU:
- Pertambangan dapat memberikan manfaat jika dikelola dengan baik.
- Menekankan keseimbangan antara menjaga lingkungan dan memanfaatkan sumber daya.
- Apresiasi terhadap pencabutan izin empat perusahaan tambang.
- Greenpeace:
- Menolak keberadaan tambang di pulau-pulau kecil.
- Mendesak evaluasi dan pencabutan izin PT Gag Nikel.
- Merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan kompleksitas isu pertambangan di Indonesia, yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemerintah diharapkan dapat mengambil kebijakan yang bijaksana dan berimbang, dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak dan memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.