Sengketa Empat Pulau: Aceh dan Sumatera Utara Berseteru, Bukti Sejarah vs. Keputusan Pemerintah Pusat
Memanasnya Sengketa Kepulauan: Aceh dan Sumut Klaim Empat Pulau
Perseteruan mengenai kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali mencuat. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dengan tegas menyatakan bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Aceh, berlandaskan bukti sejarah dan data yang kuat.
"Sejak dahulu kala, empat pulau itu adalah kewenangan Aceh," ujar Muzakir, menekankan hak historis dan bukti yang dimiliki Aceh. Klaim ini didasarkan pada berbagai faktor, termasuk sejarah, perbatasan, dan iklim kepulauan tersebut.
Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa penetapan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumut telah melalui proses panjang dan melibatkan berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Tito Karnavian juga mengklaim bahwa batas wilayah darat sudah disepakati oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Argumen dan Bukti yang Diajukan
Pemerintah Provinsi Aceh mendasarkan klaim mereka pada beberapa dokumen, antara lain:
- SK Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965: Dokumen ini dianggap sebagai bukti administrasi yang dikeluarkan oleh instansi di dalam Provinsi Aceh.
- Surat Kuasa dari Teuku Djohansyah bin Teuku Daud: Surat ini tertanggal 24 April 1980.
- Peta Topografi TNI AD Tahun 1978: Peta ini menunjukkan batas wilayah antara Aceh dan Sumut.
- Kesepakatan Bersama Gubernur Aceh dan Sumatera Utara: Kesepakatan ini ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, yang menyepakati bahwa keempat pulau tersebut masuk wilayah Aceh.
Kemendagri, di sisi lain, berargumen bahwa penetapan keempat pulau sebagai bagian dari Sumut didasarkan pada hasil rapat yang melibatkan delapan instansi tingkat pusat, termasuk Badan Informasi Geospasial (BIG), Pusat Hidros TNI AL, dan Topografi TNI AD. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan letak geografis pulau-pulau tersebut berdasarkan batas darat yang telah disepakati oleh pemerintah daerah terkait.
Kronologi Sengketa yang Panjang
Sengketa kepemilikan empat pulau ini telah berlangsung sejak tahun 2008, ketika Kemendagri bersama berbagai instansi membentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Proses verifikasi dan pembakuan nama pulau menghasilkan perubahan nama untuk beberapa pulau yang dipersengketakan.
Namun, perbedaan titik koordinat yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi Aceh menimbulkan keraguan. Pada tahun 2017, Direktur Jenderal Administrasi Wilayah Kemendagri menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk wilayah Sumut. Keputusan ini kemudian diperkuat dalam rapat bersama antara Kemenko Marves, KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada tahun 2020.
Upaya mediasi dan survei faktual telah dilakukan, namun belum membuahkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut. Keputusan ini kemudian disomasi oleh Gubernur Aceh saat itu, yang mendorong dilakukannya survei faktual.
Survei faktual menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut tidak berpenduduk, namun terdapat tugu yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan makam yang sering dikunjungi untuk berziarah. Kondisi Pulau Lipan dilaporkan hampir tenggelam.
Terakhir, Kemendagri menerbitkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang secara resmi memasukkan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil ke dalam wilayah Sumut. Keputusan inilah yang kembali memicu polemik dan adu bukti antara Aceh dan Sumut.
Perseteruan ini menyoroti kompleksitas penentuan batas wilayah dan pentingnya bukti sejarah serta pertimbangan geografis dalam pengambilan keputusan. Masa depan kepemilikan empat pulau ini masih belum jelas dan memerlukan penyelesaian yang adil dan komprehensif.