Restorasi Ekologis Kawasan Puncak: Upaya Pencegahan Bencana dan Transformasi Pariwisata Berkelanjutan
Restorasi Ekologis Kawasan Puncak: Upaya Pencegahan Bencana dan Transformasi Pariwisata Berkelanjutan
Bencana banjir bandang yang melanda kawasan Puncak, Bogor, pada awal Maret 2025 lalu telah menyoroti permasalahan krusial terkait pengelolaan lingkungan dan pariwisata di daerah tersebut. Kejadian yang mengakibatkan kerusakan fasilitas umum, tanah longsor, dan korban jiwa ini menjadi pemicu mendesak bagi pemerintah untuk melakukan tindakan tegas dan komprehensif. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah mengambil langkah awal dengan menyegel dan merobohkan sejumlah bangunan wisata yang terbukti melanggar aturan alih fungsi lahan. Langkah ini didukung penuh oleh pakar lingkungan dari Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, yang menekankan perlunya restorasi ekologis menyeluruh di kawasan Puncak.
Mahawan Karuniasa, pemerhati lingkungan dan perubahan iklim dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa banjir bandang di Puncak merupakan akumulasi dari dua faktor utama. Pertama, degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung akibat berkurangnya tutupan hutan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan, pertanian, dan lahan terbangun, termasuk fasilitas wisata seperti vila dan resort. Kedua, faktor eksternal berupa cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi yang diakibatkan oleh perubahan iklim global. Kenaikan suhu permukaan bumi yang telah melampaui batas aman 1,5°C di atas masa revolusi industri, semakin meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan ekstrem, sehingga berpotensi meningkatkan risiko banjir bandang.
Untuk mencegah terulangnya bencana serupa, Mahawan menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh dan implementasi strategi restorasi. Kawasan Puncak, sebagai hulu Sungai Ciliwung, memiliki peran vital dalam tata air untuk wilayah Jabodetabek. Oleh karena itu, restorasi harus difokuskan pada penyeimbangan rasio lahan terbangun dan vegetasi, guna meminimalisir erosi dan limpasan air yang berlebihan. Lebih lanjut, Mahawan menyoroti perlunya perubahan mendasar dalam konsep pariwisata Puncak. Model pariwisata yang berkelanjutan harus diprioritaskan, dengan memperhatikan indeks lingkungan dan perluasan tutupan vegetasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Langkah konkret yang telah diambil pemerintah, selain penyegelan empat tempat wisata – Pabrik Teh PT Perusahaan Perkebunan Sumber Sari Bumi Pakuan (PPSSBP), PTPN I Regional 2 Gunung Mas, PT Jaswita Jabar (Hibiscus Park), dan Jembatan Gantung Eiger Adventure Land di Megamendung – juga mencakup identifikasi 33 lokasi wisata lain yang berpotensi melanggar peraturan lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa penindakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menegakkan peraturan lingkungan dan memastikan pembangunan berkelanjutan. Langkah ini menunjukkan komitmen serius pemerintah untuk mengatasi akar permasalahan dan mencegah terjadinya bencana serupa di masa mendatang.
Kesimpulannya, bencana banjir bandang di Puncak menjadi momentum krusial untuk melakukan transformasi pengelolaan kawasan, dari pendekatan pariwisata yang eksploitatif menuju model yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Restorasi ekologis, penegakan hukum lingkungan, dan perubahan konsep pariwisata merupakan kunci utama untuk memastikan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan di kawasan Puncak serta wilayah sekitarnya.