Indonesia Berada di Urutan Kedua Dunia dalam Kasus Tuberkulosis, Kekurangan Dokter Spesialis Jadi Sorotan
Indonesia menempati peringkat kedua dunia dalam jumlah kasus tuberkulosis (TBC), sebuah kondisi yang mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian serius. Data menunjukkan bahwa India berada di posisi pertama dengan 2,8 juta kasus dan 315 ribu kematian, diikuti oleh Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyoroti pentingnya peningkatan jumlah dokter spesialis, terutama spesialis paru, untuk mengatasi masalah ini.
Menurut Dante, idealnya setiap kabupaten atau kota di Indonesia memiliki setidaknya satu dokter spesialis paru. Hal ini akan meningkatkan kualitas rujukan pasien TBC, terutama bagi mereka yang resisten terhadap obat. Kurangnya tenaga ahli di bidang ini menjadi kendala utama dalam penanganan TBC yang efektif. Penanganan resistensi obat memerlukan keahlian khusus yang hanya dimiliki oleh dokter spesialis paru yang mumpuni.
Selain kekurangan dokter spesialis paru, Indonesia juga menghadapi masalah kekurangan dokter spesialis mikrobiologi klinik. Dokter spesialis mikrobiologi klinik memainkan peran penting dalam mendiagnosis TBC dengan mengidentifikasi infeksi bakteri melalui pemeriksaan laboratorium. Proses ini melibatkan berbagai teknik seperti kultur, tes cepat molekuler, dan uji resistensi obat. Hasil analisis dari spesialis mikrobiologi klinik menjadi dasar penting bagi dokter klinis, termasuk dokter paru, untuk menentukan pengobatan yang tepat dan efektif bagi pasien TBC.
Saat ini, hanya terdapat 367 dokter spesialis mikrobiologi klinik di seluruh Indonesia, jauh dari kebutuhan ideal sebanyak 1.252 dokter. Setiap tahun, hanya sekitar 60-70 dokter spesialis mikrobiologi klinik yang berhasil lulus. Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), drg Arianti Anaya, MKM, mengungkapkan bahwa Indonesia baru memenuhi 26,6 persen dari kebutuhan dokter mikrobiologi yang ada. Kesenjangan ini memerlukan strategi alternatif, seperti program fellowship dengan kolegium dan institusi pendidikan, untuk memastikan distribusi spesialis mikrobiologi yang lebih merata.
Masalah distribusi dokter spesialis juga menjadi perhatian utama. Pemerintah berupaya memperbaiki sistem pendistribusian dokter spesialis agar lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alternatif yang sedang dikaji termasuk mengirimkan residen program pendidikan dokter spesialis (PPDS) tahap akhir ke daerah terpencil. Dengan cara ini, peserta PPDS diharapkan mendapatkan pengalaman yang lebih luas di daerah-daerah yang membutuhkan.
Selain itu, pemerintah juga menjanjikan insentif khusus bagi dokter spesialis yang bersedia bertugas di daerah terpencil. Insentif ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan retensi dokter spesialis di daerah-daerah tersebut. Dante menekankan pentingnya komitmen daerah dalam memberikan insentif, terutama terkait masalah keamanan dan finansial. Dukungan finansial dari APBD diharapkan dapat membuat dokter-dokter yang bertugas di daerah merasa lebih betah dan termotivasi.
Dengan berbagai upaya ini, pemerintah berharap dapat mengatasi masalah kekurangan dokter spesialis dan meningkatkan kualitas penanganan TBC di seluruh Indonesia. Distribusi dokter yang merata dan dukungan yang memadai bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil menjadi kunci utama dalam mencapai tujuan tersebut.