Pendiri Sriwijaya Air, Hendry Lie, Dihukum 14 Tahun Penjara dan Ganti Rugi Rp 1,05 Triliun dalam Kasus Korupsi

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Hendry Lie, pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air. Vonis ini terkait dengan kasus korupsi yang merugikan negara dengan nilai fantastis mencapai Rp 300 triliun.

Selain hukuman badan, Hendry Lie juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1.052.577.589.599.019 (Rp 1,05 triliun). Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Tony Irfan, pada Kamis (12/6/2025), yang menyatakan bahwa uang pengganti tersebut merupakan pidana tambahan yang harus dipenuhi oleh terdakwa.

Kasus ini bermula ketika Hendry Lie, sebagai pemilik PT Tinindo Inter Nusa (TIN), menjalin kerjasama dengan PT Timah Tbk dalam bentuk sewa smelter. Hakim Tony Irfan menegaskan bahwa Hendry Lie harus melunasi uang pengganti tersebut selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Jika dalam jangka waktu tersebut Hendry Lie tidak dapat membayar, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menyita aset-asetnya dan melelangnya untuk kemudian hasilnya diserahkan kepada negara sebagai pengganti kerugian. Lebih lanjut, Hakim Tony menambahkan bahwa apabila aset yang dimiliki Hendry Lie tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara, maka hukuman penjara akan ditambah selama 8 tahun.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan Hendry Lie terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Hendry Lie dengan hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp 1,056 triliun subsidair 10 tahun kurungan.

Dengan putusan ini, Hendry Lie tidak hanya menghadapi hukuman penjara yang cukup lama, tetapi juga konsekuensi finansial yang sangat besar. Kasus ini menjadi pengingat bagi para pelaku bisnis dan pejabat publik akan pentingnya integritas dan kepatuhan terhadap hukum dalam menjalankan kegiatan usahanya.