Penemuan Kembali Katak Terbang Sulawesi Setelah Satu Abad: Spesies Baru Terungkap

Kembalinya Sang Pelayang Sulawesi: Identifikasi Spesies Baru Katak Terbang

Setelah lebih dari seratus tahun menghilang dari catatan ilmiah, katak terbang khas Sulawesi kembali ditemukan. Alamsyah Elang NH, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berhasil mengidentifikasi kembali amfibi unik ini pada Agustus 2023. Penemuan ini bukan hanya sekadar penampakan kembali, tetapi juga membawa implikasi penting dalam dunia taksonomi.

Katak yang ditemukan di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, ini kemudian ditetapkan sebagai spesies baru dengan nama Rhacophorus rhyssocephalus. Sebelumnya, populasi katak ini dianggap sebagai subspesies dari Rhacophorus pardalis yang tersebar luas di wilayah Sumatra dan Kalimantan.

Mengapa Disebut Katak Terbang?

Julukan "katak terbang" melekat pada Rhacophorus rhyssocephalus karena struktur anatominya yang khas. Adanya selaput kulit yang lebar dan penuh di antara jari-jari kaki dan tangannya memungkinkan katak ini untuk melayang saat melompat dari satu tempat ke tempat lain. Kemampuan ini pertama kali didokumentasikan oleh Alfred Russel Wallace dalam bukunya yang terkenal, The Malay Archipelago, yang memperkenalkan konsep "flying frog" kepada dunia.

Sebaran Geografis dan Keragaman Genus Rhacophorus

Dalam diskusi daring bertajuk "Sulawesi Flying Frogs: Identity Challenges and Diversity," Alamsyah menjelaskan bahwa genus Rhacophorus termasuk dalam famili Rhacophoridae. Spesies tipe dari genus ini adalah Rhacophorus reinwardtii, yang pertama kali ditemukan di Jawa Barat. Ciri khas genus ini adalah adanya tulang penghubung antara ruas jari pertama dan kedua.

Secara historis, genus Rhacophorus memiliki sebaran geografis yang luas, mencakup wilayah mulai dari China, Jepang, India, Malaysia, Indonesia, hingga Filipina. Di Indonesia sendiri, Sulawesi menjadi batas wilayah paling timur yang diketahui sebagai habitat katak terbang ini. Saat ini, terdapat lima spesies Rhacophorus yang telah teridentifikasi di Sulawesi:

  • Rhacophorus edentulus (Müller, 1894)
  • Rhacophorus monticola (Boulenger, 1896)
  • Rhacophorus georgii (Roux, 1904)
  • Rhacophorus rhyssocepholus (Wolf, 1936, dalam Herlambang dkk. 2025)
  • Rhacophorus boedii (Hamidy, Riyanto, Munir, Gonggoli, Trislaksono, dan McGuire, 2025)

Keragaman Katak Terbang Sulawesi

Berdasarkan ekspedisi yang dilakukan selama 20 tahun di Sulawesi, Alamsyah menemukan beberapa garis keturunan yang berbeda dalam kelompok Rhacophorus. Semuanya adalah satwa endemik Sulawesi.

Katak terbang Sulawesi diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan karakteristik fisik:

  • Grup batik cokelat: Memiliki corak menyerupai batik dengan moncong yang meruncing.
  • Grup web hitam: Ditandai dengan selaput berwarna hitam di kakinya.
  • Grup hijau: Memiliki warna hijau muda dan ukuran tubuh yang lebih kecil.
  • Grup pipi putih: Memiliki bercak putih di sebagian pipinya.

Keunikan Sulawesi dan Tingginya Endemisitas

Kepala Pusat Riset Biosistematika Evolusi BRIN, Arif Nurkanto, menjelaskan bahwa sejarah geologi Sulawesi yang unik menjadi faktor utama tingginya tingkat endemisitas di pulau ini. Sulawesi terbentuk dari pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Asia, Pasifik, dan Indo-Australia. Secara biogeografis, Sulawesi tidak pernah terhubung sepenuhnya dengan Australia atau Asia, sehingga menghasilkan spesies-spesies unik.

Sulawesi menempati urutan kedua tertinggi dalam hal penemuan spesies baru di Indonesia. Penelitian mengenai katak terbang Rhacophorus telah mengungkap beberapa spesies baru dan garis keturunan yang berbeda. Namun, Arif menekankan bahwa masih banyak keanekaragaman amfibi lain yang belum teridentifikasi sepenuhnya.

Ekosistem Sulawesi yang unik dan kondisi geologis yang kompleks berpotensi menjadi rumah bagi lebih banyak spesies amfibi endemik yang belum terdokumentasi. Penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk memahami pola evolusi, adaptasi, dan interaksi ekologi amfibi di Sulawesi.

Penemuan katak terbang ini hanyalah awal dari eksplorasi panjang yang akan membuka lebih banyak wawasan tentang herpetofauna di Sulawesi dan Indonesia secara keseluruhan.