KPK Usut Dugaan Pemerasan Izin TKA: Cak Imin dan Mantan Menteri Lain Berpotensi Diperiksa

KPK Membuka Peluang Pemeriksaan Cak Imin dan Mantan Menteri Ketenagakerjaan Terkait Kasus Dugaan Pemerasan Izin TKA

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan tindak pidana korupsi terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) periode 2019-2023. Dalam proses penyidikan ini, KPK membuka peluang untuk memanggil sejumlah mantan Menteri Ketenagakerjaan, termasuk Abdul Muhaimin Iskandar, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM). Selain Cak Imin, nama-nama lain seperti Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah juga berpotensi untuk dimintai keterangan.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa pihaknya akan memanggil siapa pun yang diduga mengetahui informasi terkait dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA. Tujuannya adalah untuk membuat terang perkara ini secara menyeluruh. KPK berharap penanganan kasus ini dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga membuka kesempatan untuk memeriksa pihak-pihak yang dianggap relevan, termasuk para mantan Menteri Ketenagakerjaan.

Sebelumnya, KPK telah memeriksa dua Staf Khusus dari mantan Menteri Ida Fauziyah, yaitu Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dan Risharyudi Triwibowo. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menelusuri aliran dana yang diduga berasal dari hasil pemerasan dalam pengurusan izin TKA di Kemenaker. Penyidik mendalami tugas dan fungsi kedua staf khusus tersebut, serta pengetahuan mereka terkait praktik pemerasan dan aliran dana yang dihasilkan.

Modus Pemerasan Diduga Berlangsung Sejak 2012

KPK mengungkap bahwa modus pemerasan dalam pengurusan izin RPTKA di Kemenaker diduga telah berlangsung sejak tahun 2012. Praktik ini tidak hanya terjadi pada periode 2019-2023, tetapi juga pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, KPK berencana untuk meminta klarifikasi kepada para Menteri Ketenagakerjaan pada periode sebelumnya untuk menggali informasi terkait modus operandi pemerasan tersebut.

Menurut KPK, modus pemerasan ini diduga dilakukan secara berjenjang, melibatkan berbagai pihak di dalam Kemenaker. KPK akan menggali informasi apakah para Menteri Ketenagakerjaan mengetahui adanya praktik pemerasan tersebut. Hal ini dianggap penting untuk upaya pencegahan korupsi di masa depan, dengan memastikan bahwa seluruh jajaran, dari atas hingga bawah, memiliki komitmen untuk menjaga integritas dan menghindari praktik korupsi.

Meski demikian, KPK belum memberikan informasi lebih lanjut mengenai jadwal pemanggilan para mantan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.

Delapan Tersangka Telah Ditetapkan

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka terkait dugaan pemerasan dalam pengurusan izin RPTKA di Kemenaker. Kedelapan tersangka tersebut adalah:

  • Suhartono (SH): Eks Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK)
  • Haryanto (HY): Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025
  • Wisnu Pramono (WP): Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemnaker tahun 2017-2019
  • Devi Angraeni (DA): Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA
  • Gatot Widiartono (GTW): Kepala Sub Direktorat Maritim dan Pertanian di Direktorar Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja
  • Putri Citra Wahyoe (PCW): Staf
  • Jamal Shodiqin (JMS): Staf
  • Alfa Eshad (ALF): Staf

KPK menduga para tersangka telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama periode 2019-2024. Rincian penerimaan uang tersebut adalah:

  • Suhartono: Rp 460 juta
  • Haryanto: Rp 18 miliar
  • Wisnu Pramono: Rp 580 juta
  • Devi Angraeni: Rp 2,3 miliar
  • Gatot Widiartono: Rp 6,3 miliar
  • Putri Citra Wahyoe: Rp 13,9 miliar
  • Alfa Eshad: Rp 1,8 miliar
  • Jamal Shodiqin: Rp 1,1 miliar

Sebagian dari uang tersebut diduga digunakan untuk uang makan 85 orang staf di Dirjen Binapenta Kemenaker sebesar Rp 8,94 miliar. Selain itu, para staf hingga petugas kebersihan yang bekerja di Dirjen Binapenta juga menikmati uang hasil pemerasan dengan total Rp 5,4 miliar, yang kemudian dikembalikan ke negara.