Perebutan Empat Pulau: Konflik Perbatasan Aceh-Sumut Mencuatkan Luka Historis dan Ekonomi Tersembunyi
Sengketa perbatasan maritim antara Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas, bukan hanya sekadar persoalan administrasi, tetapi juga menyentuh akar sejarah, budaya, dan potensi ekonomi yang tersembunyi. Empat pulau, yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, menjadi pusat konflik setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan wilayah administratifnya masuk ke Sumatera Utara. Keputusan ini memicu gelombang protes dari masyarakat Aceh yang merasa hak historis dan identitas budaya mereka diabaikan.
Klaim Aceh didasarkan pada dokumen agraria tahun 1965 dan Peta Topografi TNI Angkatan Darat tahun 1978 yang menunjukkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayahnya. Selama bertahun-tahun, Aceh telah membangun berbagai fasilitas publik di sana, termasuk dermaga, musala, dan tugu batas, sebagai bukti nyata penguasaan dan pengelolaan efektif atas pulau-pulau tersebut. Namun, bukti-bukti ini tampaknya tidak cukup kuat untuk memengaruhi keputusan Kemendagri, yang lebih memilih pendekatan geografis, dengan alasan kedekatan spasial pulau-pulau tersebut dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana pemerintah pusat mempertimbangkan aspek historis dan emosional dalam sengketa wilayah. Bagi Aceh, pulau-pulau tersebut bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol harga diri, identitas, dan warisan leluhur. Pengabaian terhadap narasi historis ini dapat memicu ketidakpuasan mendalam dan rasa ketidakadilan yang berkepanjangan.
Lebih jauh, muncul spekulasi mengenai potensi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (migas), di sekitar wilayah empat pulau tersebut. Isu ini menambah dimensi ekonomi-politik dalam sengketa ini, memunculkan kecurigaan bahwa keputusan Kemendagri mungkin terkait dengan perebutan kontrol atas aset strategis. Meskipun Kemendagri membantah adanya motif ekonomi, publik Aceh tetap meragukan netralitas dan objektivitas proses pengambilan keputusan.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik, terutama dalam keputusan yang berdampak luas seperti ini. Masyarakat Aceh menuntut kejelasan tidak hanya dari segi administratif, tetapi juga dari segi moral dan etika, dengan mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya. Sengketa ini juga menggarisbawahi perlunya mekanisme penyelesaian sengketa batas wilayah yang lebih baik, yang melibatkan dialog inklusif dan partisipatif antara pihak-pihak terkait.
Konflik perbatasan Aceh-Sumut ini menjadi preseden penting bagi sengketa wilayah lainnya di Indonesia. Penyelesaian yang tidak sensitif terhadap sejarah dan klaim emosional masyarakat lokal berpotensi memicu konflik yang lebih besar di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan kembali pendekatan yang digunakan, lebih mengakomodasi klaim historis, dan mengedepankan dialog antar-daerah yang lebih intensif. Drama empat pulau ini menegaskan bahwa sengketa wilayah bukan sekadar persoalan administratif yang bisa diselesaikan dengan garis batas di atas peta. Pemerintah pusat harus lebih jeli melihat aspek-aspek historis, emosional, dan ekonomi yang tersembunyi di balik sengketa administratif.