Potret Buram Toleransi: Parepare dan Cilegon Puncaki Daftar Kota dengan Skor Toleransi Terendah di Indonesia
Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM), SETARA Institute, baru-baru ini merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang mengevaluasi tingkat toleransi di 94 kota di seluruh Indonesia. Hasilnya cukup mencengangkan, dengan beberapa kota menunjukkan performa yang jauh dari ideal dalam hal praktik toleransi. Kota Parepare, Sulawesi Selatan, menempati posisi terendah dengan skor hanya 3,945 dari skala 7. Menyusul Parepare, Kota Cilegon, Banten, juga mencatatkan skor yang memprihatinkan, yakni 3,994.
Laporan IKT ini bertujuan untuk mengukur dan mempromosikan praktik-praktik baik toleransi di berbagai kota di Indonesia. Penilaian dilakukan berdasarkan empat variabel utama, yaitu regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindakan pemerintah, dan demografi sosio-keagamaan. Keempat variabel ini kemudian dipecah menjadi delapan indikator penilaian yang lebih spesifik, yaitu:
- Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) (10%)
- Kebijakan Pemerintah Kota (20%)
- Peristiwa Intoleransi (20%)
- Dinamika Masyarakat Sipil (10%)
- Pernyataan Publik Pemerintah Kota (10%)
- Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%)
- Heterogenitas Agama (5%)
- Inklusi Sosial Keagamaan (10%)
Skor akhir dihitung berdasarkan kombinasi pembobotan dari kedelapan indikator tersebut, dengan skala Likert antara 1 hingga 7. Nilai 1 menunjukkan kualitas toleransi yang rendah, sementara nilai 7 mencerminkan kualitas toleransi yang tertinggi. SETARA Institute menggunakan tiga teknik uji validitas untuk memastikan akurasi data, yaitu triangulasi sumber, kuesioner self-assessment, dan pertemuan serial para ahli (expert meeting series).
Selain Parepare dan Cilegon, kota-kota lain yang masuk dalam daftar 10 kota dengan skor toleransi terendah adalah Lhokseumawe, Banda Aceh, Pekanbaru, Bandar Lampung, Makassar, Ternate, Sabang, dan Pagar Alam. Khusus untuk Cilegon, laporan IKT menyoroti kepemimpinan politik dan birokrasi yang dinilai kurang responsif terhadap isu toleransi. Salah satu contohnya adalah adanya hambatan bagi umat Kristiani dalam mendirikan rumah ibadah. Kondisi ini dipicu oleh Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tahun 1975 yang seringkali dijadikan dasar penolakan pendirian gereja oleh sebagian warga Cilegon.
Selain itu, dinamika masyarakat sipil di Cilegon juga dinilai belum memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya-upaya peningkatan toleransi. Bahkan, masyarakat sipil justru masih menghadapi berbagai bentuk intoleransi. Laporan IKT menekankan bahwa skor rendah yang diperoleh Cilegon bukan hanya disebabkan oleh adanya peristiwa intoleran, tetapi juga kurangnya upaya atau inovasi dalam memajukan toleransi. Kepemimpinan politik, birokrasi, dan kemasyarakatan di kota tersebut dinilai belum menunjukkan kinerja yang nyata dan kolaboratif dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi.
Di sisi lain, laporan IKT juga menyoroti kota-kota yang berhasil meraih skor tertinggi dalam hal toleransi. Salatiga, Jawa Tengah, menempati peringkat pertama dengan skor 6,54, diikuti oleh Singkawang, Kalimantan Barat (skor 6,42) dan Semarang, Jawa Tengah (skor 6,35). Hasil ini menunjukkan bahwa upaya-upaya sistematis dan berkelanjutan dalam mempromosikan toleransi dapat membuahkan hasil yang positif.