Skandal Perjalanan Dinas Fiktif DPRD Riau: Ratusan Saksi Diperiksa, Kerugian Negara Capai Ratusan Miliar

Penyidikan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di Sekretariat DPRD (Setwan) Riau tahun anggaran 2020-2021 terus bergulir. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau telah memeriksa lebih dari 400 saksi dari berbagai kalangan untuk mengungkap jaringan korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Saksi-saksi yang dimintai keterangan meliputi mantan Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru, Muflihun, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris DPRD Riau, Aparatur Sipil Negara (ASN), tenaga ahli, staf honorer di lingkungan Setwan DPRD Riau, hingga seorang publik figur, Hana Hanifah. Pemeriksaan terhadap Muflihun telah dilakukan beberapa kali oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Riau.

"Kami telah memeriksa lebih dari 400 saksi, termasuk beberapa saksi yang telah diperiksa berulang kali," ujar Kombes Ade Kuncoro Ridwan, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau.

Ratusan saksi tersebut diduga kuat menerima aliran dana dari praktik korupsi perjalanan dinas fiktif. Modusnya, sejumlah pegawai di Setwan DPRD Riau menerima dana dengan jumlah bervariasi, bahkan mencapai ratusan juta rupiah per orang. Selain itu, dana haram tersebut juga diduga mengalir ke kantong artis Hana Hanifah dengan nilai mencapai sekitar Rp 900 juta. Diduga, dana tersebut diberikan oleh seorang oknum ASN di Setwan DPRD Riau sebagai imbalan atas jasa tertentu.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena nilai kerugian negara yang sangat fantastis, mencapai Rp 195,9 miliar. Ade Kuncoro Ridwan mengungkapkan bahwa angka ini merupakan yang tertinggi di antara kasus korupsi yang ditangani oleh Polda-Polda lain di Indonesia saat ini. Polda Riau berencana menggelar perkara di Bareskrim Polri pada tanggal 17 Juni 2025 untuk menentukan tersangka dalam kasus ini. Setelah gelar perkara, identitas tersangka akan diumumkan secara resmi.

Kasus korupsi perjalanan dinas fiktif ini terungkap setelah penyidik menemukan sejumlah bukti yang mengindikasikan adanya praktik korupsi sistematis. Bukti-bukti tersebut antara lain:

  • Surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif
  • Bukti pemesanan penginapan palsu
  • Lebih dari 35.000 tiket pesawat fiktif. Hal ini sangat mencurigakan karena pada periode tersebut, penerbangan pesawat sangat dibatasi akibat pandemi Covid-19.

Selain memeriksa ratusan saksi, penyidik juga telah menyita sejumlah aset yang diduga berasal dari hasil korupsi, di antaranya:

  • Empat unit apartemen di Batam, Kepulauan Riau, salah satunya milik Muflihun.
  • Sebuah rumah milik Muflihun di Pekanbaru.
  • Sebelas unit homestay di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Penyitaan aset-aset ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum untuk memulihkan kerugian negara akibat korupsi. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi seluruh instansi pemerintah untuk lebih berhati-hati dan transparan dalam pengelolaan anggaran negara.