Kemiskinan di Indonesia: Antara Standar Nasional dan Paradigma Global
Kemiskinan merupakan isu kompleks yang melampaui sekadar angka statistik. Ia mencerminkan ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, dan efektivitas kebijakan yang berorientasi pada kepentingan manusia. Perbedaan perspektif dalam mengukur kemiskinan, baik secara nasional maupun global, menyoroti perlunya pemahaman yang mendalam dan komprehensif.
Bank Dunia, dengan standar garis kemiskinan baru berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021 sebesar 8,30 dollar AS per orang per hari untuk negara berpendapatan menengah atas, memberikan gambaran global tentang kemiskinan. Menurut standar ini, sebagian besar penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Namun, angka ini berbeda jauh dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan basic needs approach dan menghasilkan angka kemiskinan yang jauh lebih rendah. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan relevansi masing-masing pendekatan.
Perbedaan Pendekatan Pengukuran Kemiskinan
Pendekatan PPP Bank Dunia bertujuan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dengan menyetarakan daya beli. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan dalam menangkap nuansa lokal dan kompleksitas kemiskinan di setiap negara.
Di sisi lain, BPS menggunakan pendekatan basic needs approach yang mengukur kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan (minimal 2.100 kkal) dan non-pangan (listrik, pakaian, transportasi). Pendekatan ini lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi Indonesia. Sebagai contoh, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2024 sebesar Rp 595.243 per orang per bulan. Namun, garis kemiskinan ini berbeda-beda di setiap provinsi dan wilayah.
Kemiskinan Multidimensional
Kemiskinan bukan hanya tentang kurangnya pendapatan, tetapi juga tentang keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan. Seseorang yang mampu membeli makanan murah, tetapi tidak memiliki akses terhadap layanan dasar, tetap dapat dianggap miskin.
Amartya Sen menekankan bahwa kemiskinan adalah tentang ketidakmampuan seseorang untuk menjalani hidup yang layak. Tujuan utamanya adalah kemampuan untuk hidup sepenuhnya sebagai manusia, bukan hanya sekadar memiliki uang.
Integrasi Data dan Pendekatan
Perlu adanya sinergi data dan pendekatan antara standar nasional dan global dalam mengukur kemiskinan. Garis kemiskinan nasional dapat digunakan untuk operasional program sosial, sedangkan standar global dapat digunakan sebagai kompas moral untuk meningkatkan kualitas hidup dan keadilan distribusi.
Pendekatan multidimensi terhadap kemiskinan, yang mencakup akses layanan dasar, kualitas pendidikan, ketahanan lingkungan, dan ketimpangan antarwilayah, menjadi sangat penting. Data granular, seperti transaksi digital dan konsumsi berbasis wilayah, dapat digunakan untuk membangun sistem pemantauan kemiskinan yang lebih tajam dan dinamis.
Memahami Pengalaman Kemiskinan
Angus Deaton menekankan pentingnya mendengarkan suara dan pengalaman orang miskin untuk memahami kemiskinan secara komprehensif. Kemiskinan bukan hanya hasil dari kurangnya pengeluaran, tetapi juga pengalaman hidup yang nyata.
Perdebatan tentang garis kemiskinan menyingkap bahwa definisi "miskin" bukanlah kesimpulan, melainkan proses pencarian yang berkelanjutan. Kemiskinan tidak dapat dibekukan dalam angka tunggal, tetapi merupakan cerita yang terus berubah, bergantung dari siapa yang melihat, dari mana ia berbicara, dan untuk siapa ia bekerja.