Kejati Jatim Tahan Dua Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Lahan Polinema Senilai Rp 42 Miliar
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) menahan dua orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait pengadaan tanah untuk perluasan Politeknik Negeri Malang (Polinema). Penahanan dilakukan pada Rabu (11/6/2025) malam, setelah keduanya menjalani pemeriksaan intensif di ruang Pidana Khusus Kejati Jatim.
Kedua tersangka, Awan Setiawan yang merupakan mantan Direktur Polinema periode 2017-2021, dan Hadi Setiawan sebagai pemilik lahan, kini mendekam di rumah tahanan Kejati Jatim. Penetapan status tersangka dan penahanan ini didasarkan pada bukti-bukti kuat dan keterangan saksi yang telah dikumpulkan oleh penyidik.
Aspidsus Kejati Jatim, Saiful Bahri Siregar, menjelaskan bahwa kedua tersangka dijerat dengan pasal berlapis terkait pemberantasan tindak pidana korupsi, yang ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara. Kasus ini bermula dari pengadaan tanah seluas 7.104 meter persegi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang pada tahun 2019. Tanah tersebut dibeli dengan harga Rp 6 juta per meter persegi, sehingga total nilai mencapai Rp 42.624.000.000.
Modus operandi yang terungkap adalah pengadaan tanah tidak melibatkan panitia pengadaan tanah pada awalnya. Kemudian, Awan Setiawan menerbitkan surat keputusan panitia pengadaan tanah pada tahun 2020, setelah terjadi kesepakatan harga dengan Hadi Setiawan. Penetapan harga tanah juga dilakukan tanpa melibatkan jasa penilai harga tanah (appraisal).
Selain itu, ditemukan fakta bahwa Hadi Setiawan melakukan jual beli tanah tanpa surat kuasa yang sah dari pemilik tanah kepada Awan Setiawan. Meskipun demikian, Hadi Setiawan telah menerima uang muka sebesar Rp 3,8 miliar pada tanggal 30 Desember 2020, padahal surat kuasa menjual baru diperoleh pada tanggal 4 Januari 2021.
Awan Setiawan, selaku Direktur Polinema, juga diduga memerintahkan bendahara untuk melakukan pembayaran tanah kepada Hadi Setiawan sebesar Rp 22,6 miliar pada tahun anggaran 2021 tanpa disertai perolehan hak atas tanah. Pembayaran ini dilakukan seolah-olah lunas dalam satu tahun anggaran, padahal berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pembayaran seharusnya dilakukan secara bertahap dan tidak ada akuisisi aset dari setiap paket yang dibayarkan dalam DIPA.
Ironisnya, tanah yang dibeli dengan anggaran negara tersebut ternyata tidak dapat dimanfaatkan untuk perluasan kampus. Hasil appraisal menunjukkan bahwa sebagian bidang tanah berdekatan dengan sempadan sungai, sehingga tidak layak untuk pembangunan fasilitas kampus.