DPR Minta Pemerintah Kawal Pencabutan Izin Tambang di Raja Ampat, Pastikan Rehabilitasi Lahan

Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah untuk menjamin bahwa empat perusahaan tambang yang izin usahanya telah dicabut di Raja Ampat, Papua Barat Daya, tidak lagi melakukan aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Desakan ini muncul sebagai respons terhadap pencabutan izin yang dilakukan pemerintah baru-baru ini.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menekankan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menindak perusahaan tambang yang bermasalah. Menurutnya, tindakan tersebut jangan hanya dilakukan ketika isu ini menjadi perhatian publik. Ia khawatir, setelah isu mereda, aktivitas pertambangan ilegal akan kembali marak.

"Jangan sampai nanti kalau sudah reda, aktivitas tambang berjalan lagi," ujar Evita, Rabu (10/6/2025).

Evita juga mendesak pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban keempat perusahaan tambang tersebut terkait dengan rehabilitasi lahan yang telah mereka eksploitasi. Ia meminta perusahaan bertanggung jawab penuh untuk melakukan penghijauan kembali dan mengembalikan wilayah konservasi ke kondisi semula.

"Perusahaan harus bertanggung jawab untuk penghijauan kembali dan mengembalikan wilayah yang masuk konservasi seperti sedia kala," tegasnya.

Politikus PDI-P itu juga mengkritik pendekatan industrialisasi berbasis tambang yang dinilai terlalu dipaksakan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem. Ia menyoroti potensi besar sektor pariwisata di Raja Ampat yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah.

Pada tahun 2020, sektor pariwisata Raja Ampat menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan nilai mencapai Rp 7 miliar. Evita mempertanyakan, berapa banyak devisa yang masuk dari retribusi wisata, homestay lokal, dan kunjungan turis asing. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, sektor ini masih mampu menyumbang lebih dari Rp 7 miliar ke PAD.

Menurut Evita, konsep nilai tambah tidak hanya terbatas pada pengolahan mineral. Sektor pariwisata juga merupakan bentuk hilirisasi dari alam dan budaya menjadi devisa. Perbedaannya adalah, pariwisata tidak merusak lingkungan. Sumber daya nikel dapat habis, tetapi keindahan panorama Raja Ampat dapat memberikan penghidupan bagi masyarakatnya hingga generasi mendatang jika dikelola dengan bijak.

Evita mengingatkan bahwa agenda hilirisasi yang sering digaungkan oleh pemerintah harus tetap mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Terutama, jika ancaman kerusakan tersebut menyasar aset strategis yang jauh lebih berkelanjutan secara ekonomi dan sosial. Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Papua, tetapi juga merupakan brand internasional yang jauh lebih bernilai dari sekadar ekspor feronikel.

"Raja Ampat itu bukan cuma kebanggaan Papua, tapi brand internasional yang jauh lebih bernilai dari sekadar ekspor feronikel. Bukan soal sentimental, ini soal nilai ekonomi jangka panjang," tegas Evita.

Ia juga menyoroti ironi ketika Indonesia mempromosikan hilirisasi di forum-forum internasional, tetapi di lapangan justru melakukan penambangan di wilayah yang seharusnya dijaga dengan ketat.

"Kan jadinya justru ironi, Indonesia jualan hilirisasi di forum-forum internasional, tapi di lapangan, kita justru menambang di tempat yang mestinya kita jaga mati-matian," pungkasnya.

Sebelumnya, pemerintah telah resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan ini diambil oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas pada Senin (9/6/2025). Keempat perusahaan yang dicabut IUP-nya adalah:

  • PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe)
  • PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun)
  • PT Anugerah Surya Pertama (Pulau Manuran)
  • PT Nurham (Pulau Yesner Waigeo Timur)