Sengketa Empat Pulau: Aceh Berpegang pada Bukti Historis, Sumut Andalkan Hasil Verifikasi Nasional
Perseteruan wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait kepemilikan empat pulau, yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil, memasuki babak baru. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memaparkan argumentasi yang berbeda dari kedua belah pihak dalam upaya mempertahankan klaim masing-masing.
Klaim Berdasarkan Data Historis: Perspektif Aceh
Pemerintah Aceh mendasarkan klaimnya pada data historis yang kuat. Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan bahwa Aceh memiliki sejumlah bukti administratif yang menunjukkan kepemilikan pulau-pulau tersebut. Bukti-bukti tersebut meliputi:
- Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh Nomor 125/IA/1965: Dokumen ini menjadi bukti administratif pertama yang dikeluarkan oleh instansi di bawah Provinsi Aceh.
- Surat Kuasa dari Teuku Djohandsyah bin Teuku Daud: Surat tertanggal 24 April 1980 ini menjadi bukti kepemilikan secara perdata.
- Peta Topografi TNI AD 1978: Peta ini secara jelas menunjukkan batas wilayah Aceh dengan Sumatera Utara dan menempatkan keempat pulau dalam wilayah Aceh.
- Kesepakatan Bersama Gubernur Aceh dan Sumatera Utara: Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, pernah menandatangani kesepakatan yang mengakui empat pulau sebagai bagian dari wilayah Aceh.
- Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992: Surat keputusan ini mengacu pada peta topografi TNI AD 1978 sebagai dasar penentuan batas wilayah Aceh.
- Berita Acara Tahun 2021: Berita acara ini terkait penyelesaian sengketa adat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
- Hasil Rapat Pembahasan Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara pada 31 Oktober 2002: Rapat ini menghasilkan kesepakatan bahwa empat pulau tersebut masuk wilayah Aceh.
- Qanun RZWP3K Aceh: Regulasi ini pada intinya menyepakati bahwa empat pulau termasuk dalam wilayah Aceh.
Klaim Berdasarkan Verifikasi: Perspektif Sumatera Utara
Di sisi lain, Pemerintah Sumatera Utara berargumen bahwa kepemilikan empat pulau didasarkan pada hasil verifikasi dan pembakuan nama rupabumi. Argumen-argumen utama yang diajukan adalah:
- Berita Acara Rapat Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi 30 November 2017: Berita acara ini dijadikan dasar klaim kepemilikan Sumatera Utara.
- Hasil Verifikasi Timnas Nama Rupabumi pada 2008: Hasil verifikasi ini menempatkan empat pulau sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara.
- Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 136/046/BAK 4 Januari 2018: Surat ini mendaftarkan empat pulau yang dipersengketakan pada UN Conference on the Standardization of Geographical Names sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
- Berita Acara Kesepakatan 11 Januari 2018: Kesepakatan ini ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara terkait rencana zonasi wilayah pesisir.
- Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Sumatera Utara: Perda ini memasukkan empat pulau ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara.
- Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145: Keputusan ini secara pokok memasukkan empat pulau ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan Kontroversial Kemendagri
Keputusan Kemendagri yang mengalihkan empat pulau tersebut ke wilayah Sumatera Utara didasarkan pada pertimbangan geografis. Menurut Dirjen Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, lokasi pulau-pulau tersebut lebih dekat ke pantai Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Safrizal menambahkan bahwa penentuan batas wilayah darat menjadi acuan utama dalam pengambilan keputusan, mengingat batas wilayah laut antara Aceh dan Sumatera Utara belum disepakati. Menteri Dalam Negeri RI, Tito Karnavian, juga pernah menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat didasarkan pada letak geografis pulau-pulau tersebut yang berada di wilayah Sumatera Utara berdasarkan batas darat yang telah disepakati.
Konflik kepemilikan empat pulau ini menunjukkan kompleksitas penentuan batas wilayah antar daerah, terutama yang melibatkan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil. Keputusan Kemendagri ini kemungkinan akan memicu perdebatan lebih lanjut dan menuntut penyelesaian yang komprehensif dan berkeadilan bagi kedua belah pihak.