Wamenristekdikti: Pendidikan Tinggi Harus Fokus pada Pemecahan Masalah, Bukan Sekadar Penguasaan AI
Wamenristekdikti Ingatkan Bahaya Terlalu Fokus pada Kurikulum AI
Wakil Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Wamenristekdikti), Stella Christie, menekankan pentingnya pendidikan tinggi yang berfokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis. Ia mengingatkan bahwa penekanan berlebihan pada kurikulum kecerdasan buatan (AI) dapat berpotensi membuat sumber daya manusia (SDM) tergantikan oleh teknologi itu sendiri.
"Jika kita hanya fokus pada kurikulum AI yang mengajarkan AI, kita akan tergantikan oleh AI itu sendiri," ujar Stella dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Stella menjelaskan bahwa meskipun pemahaman tentang AI penting, prioritas utama pendidikan tinggi seharusnya adalah melatih SDM yang mampu memahami dan memecahkan masalah nyata di berbagai sektor industri. Hal ini lebih krusial daripada sekadar mengajarkan keterampilan teknis penggunaan AI.
Ia mengambil contoh industri penyimpanan hasil pertanian yang memanfaatkan pendingin cerdas berbasis AI. Menurutnya, tantangan sebenarnya bukan terletak pada pengoperasian AI itu sendiri, melainkan pada pemahaman mendalam tentang masalah penyimpanan yang ingin diatasi.
"Industri penyimpanan kulkas dingin untuk makanan atau hasil pertanian menggunakan AI untuk mengatur penyimpanan paling efektif. Namun, yang paling penting adalah SDM yang mampu memahami masalah penyimpanan dan menentukan tool AI apa yang paling tepat untuk digunakan," jelasnya.
Oleh karena itu, Stella menekankan bahwa sistem pendidikan tinggi harus mengutamakan pengembangan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Keterampilan ini memungkinkan lulusan untuk menganalisis kebutuhan industri dan merumuskan solusi yang efektif.
"Sistem pendidikan harus responsif terhadap kebutuhan industri, sehingga lulusan mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. Kita harus menghindari situasi di mana kita tergantikan oleh AI," tegas Stella.
Pernyataan Wamenristekdikti ini muncul setelah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, mengumumkan rencana penerapan kurikulum AI di berbagai jenjang pendidikan mulai tahun ajaran baru 2025. Gibran menekankan bahwa AI tidak akan menggantikan manusia, tetapi manusia yang tidak memanfaatkan AI akan kalah bersaing dengan mereka yang menguasainya.
Implementasi Kurikulum AI Perlu Pertimbangan Matang
Wacana penerapan kurikulum AI di berbagai jenjang pendidikan memunculkan berbagai tanggapan. Sementara sebagian pihak menyambut baik inisiatif ini sebagai langkah strategis untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi era digital, sebagian lainnya mengingatkan akan potensi dampak negatif jika implementasinya tidak dilakukan secara matang. Salah satu kekhawatiran utama adalah risiko terciptanya ketergantungan pada teknologi AI, sehingga mengurangi kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah secara mandiri.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk merancang kurikulum AI yang komprehensif dan berimbang. Kurikulum tersebut tidak hanya fokus pada penguasaan keterampilan teknis penggunaan AI, tetapi juga pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Selain itu, perlu dipastikan bahwa kurikulum AI selaras dengan kebutuhan industri dan mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dan berdaya saing tinggi di pasar kerja.
Tantangan dan Peluang di Era Kecerdasan Buatan
Integrasi AI dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, menghadirkan tantangan dan peluang yang signifikan. Di satu sisi, AI berpotensi meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran, serta memberikan akses yang lebih luas terhadap sumber daya pendidikan. Di sisi lain, AI juga dapat menimbulkan disrupsi di pasar kerja, menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif dan rutin. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara luas untuk bersiap menghadapi perubahan ini dengan meningkatkan keterampilan dan kompetensi yang relevan dengan era digital.
Selain itu, perlu diperhatikan pula aspek etika dan sosial dari penggunaan AI. AI dapat digunakan untuk tujuan yang baik, seperti meningkatkan kualitas hidup manusia, tetapi juga dapat disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan, seperti penyebaran informasi palsu atau diskriminasi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kerangka kerja etika yang jelas dan transparan untuk mengatur pengembangan dan penggunaan AI, serta memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kepentingan masyarakat secara luas.