Sengketa Wilayah, Aceh Klaim Kepemilikan Empat Pulau yang Dikuasai Sumatera Utara dengan Bukti Kuat
Pemerintah Aceh berupaya keras untuk mengembalikan empat pulau yang saat ini berada di bawah administrasi Sumatera Utara. Klaim ini didasarkan pada serangkaian dokumen resmi yang dikumpulkan sejak tahun 1992, yang secara tegas menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Aceh.
Sengketa wilayah ini bermula dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang secara administratif memasukkan empat pulau yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Aceh meyakini bahwa keputusan ini didasari pada kekeliruan koordinat yang terjadi pada tahun 2009. Pemerintah Aceh juga telah berupaya mengklarifikasi koordinat yang keliru tersebut sejak tahun 2018.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh telah berulang kali mengirimkan surat kepada Kementerian Dalam Negeri untuk memfasilitasi pembahasan mengenai status keempat pulau tersebut. Bukti terkuat yang dimiliki Aceh adalah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tahun 1992 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inan Seregal, dengan disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Dokumen ini menjadi landasan utama klaim Aceh atas kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Syakir menambahkan, "Ini yang menjadi pegangan bagi kita selama ini. Dokumen itu sudah kita sampaikan lengkap dengan peta-petanya kepada kementerian dalam negeri. Kalau bagi kami ini kekeliruan pencatatan. Sebenarnya pencatatannya masuk di kita. Karena jelas, acuannya kesepakatan 92."
Pemerintah Aceh bersama tim dari Kemendagri telah melakukan peninjauan langsung ke lokasi untuk memverifikasi kondisi faktual pulau-pulau tersebut. Proses verifikasi melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Aceh Singkil.
Dalam verifikasi tersebut, Pemerintah Aceh menunjukan berbagai bukti seperti:
- Infrastruktur fisik
- Dokumen kepemilikan
- Prasasti
- Tugu
- Foto-foto
Bukti kuat lainnya termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat tanah dari tahun 1965, serta prasasti di Pulau Mangkir Ketek yang dibangun pada 2018, yang berdampingan dengan tugu dari Pemkab Aceh Singkil tahun 2008 yang bertuliskan: “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Pemerintah Aceh juga merujuk pada rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang difasilitasi oleh Kemenko Polhukam pada tahun 2022. Hasil rapat menyimpulkan bahwa berdasarkan aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan, dan layanan publik yang telah dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil, keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.
Pada tanggal 3 Juni 2022, tim Kemendagri bersama dengan Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Singkil, dan Pemprov Sumatera Utara melakukan peninjauan langsung ke empat pulau yang menjadi sengketa, yaitu Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang. Tim Kemendagri meninjau berbagai bukti di lapangan, termasuk dermaga kayu milik masyarakat Aceh Singkil, bangunan setengah permanen, tugu koordinat buatan tahun 2012, rumah singgah nelayan, mushala, dan kuburan lama yang diyakini milik warga Aceh.
Pada kesempatan tersebut, Syakir menyerahkan seluruh dokumen pembuktian kepada tim Kemendagri sebagai bentuk klaim atas empat pulau yang kini secara administratif masuk ke wilayah Sumatera Utara. Pemerintah Aceh berharap dengan bukti-bukti yang kuat ini, status kepemilikan pulau-pulau tersebut dapat dikembalikan ke Aceh.