Sindikat Pengoplos Gas Subsidi Dibongkar Bareskrim di Sidoarjo, Kerugian Negara Mencapai Miliaran Rupiah

Kepolisian Republik Indonesia melalui Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri berhasil mengungkap praktik ilegal pengoplosan gas elpiji bersubsidi di sebuah lokasi di Dusun Cangkring, Sidoarjo, Jawa Timur. Pengungkapan ini mengungkap jaringan yang secara sistematis memindahkan isi dari tabung gas 3 kg bersubsidi ke tabung gas 12 kg non-subsidi, mengakibatkan kerugian negara yang signifikan.

Brigadir Jenderal Nunung Syaifuddin, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, menyampaikan bahwa dalam operasi tersebut, delapan orang tersangka berhasil diamankan dan kini ditahan di Rumah Tahanan Bareskrim Polri. Para tersangka memiliki peran yang berbeda dalam menjalankan bisnis ilegal ini. Tersangka RBP bertindak sebagai pemilik modal, sementara AS bertanggung jawab sebagai penanggung jawab operasional. MNRI, E, WTA, dan MEI berperan sebagai operator yang melakukan pemindahan gas dari tabung subsidi ke tabung non-subsidi. R berperan sebagai pemasok gas subsidi, dan BT sebagai penadah atau penerima hasil pengoplosan gas.

Dalam penggerebekan tersebut, petugas berhasil menyita sejumlah barang bukti yang menguatkan dugaan tindak pidana tersebut. Barang bukti yang disita meliputi:

  • 487 tabung gas ukuran 3 kg (subsidi)
  • 2 tabung gas ukuran 5,5 kg
  • 227 tabung gas ukuran 12 kg (non-subsidi)
  • 12 regulator selang
  • 11 regulator pendek
  • 4 bak air yang digunakan dalam proses pengoplosan
  • 3 unit mobil pickup yang digunakan untuk mengangkut tabung gas
  • Dokumen pencatatan yang berkaitan dengan aktivitas ilegal tersebut

Berdasarkan hasil penyelidikan, sindikat ini telah menjalankan praktik pengoplosan gas elpiji bersubsidi selama kurang lebih 10 bulan, dimulai sejak tahun 2024. Akibat aktivitas ilegal ini, negara diperkirakan mengalami kerugian mencapai Rp 7,9 miliar. Modus operandi yang digunakan adalah dengan memindahkan isi tabung gas 3 kg bersubsidi ke dalam tabung gas 12 kg non-subsidi, yang kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, sehingga meraup keuntungan pribadi yang besar.

Para tersangka akan dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 40 Angka 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp60 miliar. Selain itu, mereka juga akan dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Jo Pasal 8 Ayat 1 huruf A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Kasus ini masih dalam pengembangan lebih lanjut untuk mengungkap kemungkinan adanya jaringan lain yang terlibat.