Pariwisata Berkelanjutan Mampu Topang Ekonomi Raja Ampat Tanpa Tambang

Keputusan pemerintah untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah memicu optimisme baru terkait kelestarian lingkungan dan masa depan ekonomi wilayah kepulauan tersebut. Pertanyaan krusial yang muncul kemudian adalah, mampukah Raja Ampat mempertahankan stabilitas ekonominya tanpa bergantung pada aktivitas pertambangan?

Jawabannya, menurut para ahli dan studi yang komprehensif, adalah sangat mungkin. Pariwisata berkelanjutan dinilai sebagai solusi yang bukan hanya layak, tetapi juga lebih menguntungkan secara jangka panjang. Victor Nikijuluw, Senior Ocean Program Advisor dari Konservasi Indonesia, menegaskan bahwa pariwisata yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan telah terbukti menjadi pilar ekonomi yang kuat bagi Raja Ampat, tanpa harus mengorbankan keindahan alamnya yang unik dan rentan.

Potensi Pariwisata yang Belum Sepenuhnya Tergali

Sebuah studi yang dilakukan oleh Konservasi Indonesia bekerja sama dengan Universitas Pattimura (UNPATTI) dan Universitas Papua (UNIPA) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kapasitas untuk menampung hingga 21.000 wisatawan per tahun. Angka ini masih berada dalam batas aman daya dukung lingkungan, memastikan bahwa aktivitas pariwisata tidak memberikan tekanan berlebihan pada ekosistem yang rapuh.

Victor Nikijuluw menekankan pentingnya menjadikan angka ini sebagai pedoman utama dalam pengelolaan wilayah pesisir Raja Ampat. Ia juga menyoroti dukungan kerangka hukum Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Cipta Kerja, yang mendukung pendekatan pembangunan berkelanjutan.

"Temuan ini menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pilihan nyata untuk menjaga alam sekaligus mendorong ekonomi," ungkap Victor.

Dampak Ekonomi dari Pariwisata

Jika diasumsikan bahwa setiap wisatawan asing menghabiskan sekitar 1.000 dolar AS untuk akomodasi, makanan, transportasi, dan aktivitas lainnya selama seminggu di Raja Ampat, maka 21.000 wisatawan dapat menghasilkan perputaran uang sebesar 21 juta dolar AS, atau lebih dari Rp 300 miliar per tahun. Potensi ini sudah mulai terealisasi, seperti yang ditunjukkan oleh data dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Raja Ampat tahun 2023. Pendapatan dari Tarif Jasa Lingkungan (TJL) dari wisatawan internasional (24.467 pengunjung) mencapai Rp 17,1 miliar, sementara wisatawan domestik menyumbang Rp 452 juta.

Pariwisata sebagai Masa Depan Raja Ampat

Angka-angka ini membuktikan bahwa pertambangan bukanlah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan ekonomi bagi Raja Ampat. Pariwisata berkelanjutan bukan hanya sebuah alternatif yang memungkinkan, tetapi juga pilihan yang lebih bijaksana dari sudut pandang ekologis dan ekonomis. Dengan pengelolaan yang tepat dan investasi yang berkelanjutan dalam infrastruktur pariwisata yang ramah lingkungan, Raja Ampat dapat terus berkembang sebagai destinasi wisata kelas dunia, sambil tetap menjaga keindahan alamnya yang tak ternilai harganya untuk generasi mendatang.

Dengan kata lain, Raja Ampat dapat hidup dan berkembang tanpa harus merusak lingkungan dengan kegiatan pertambangan. Potensi pariwisata yang berkelanjutan menawarkan harapan baru bagi masa depan wilayah ini, di mana alam dan ekonomi dapat berjalan beriringan.