Terancam 20 Tahun Penjara, Eks Pejabat MA Pembelaan Diri Atas Timbunan Aset Fantastis

Mantan pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, kini menghadapi babak baru dalam kasus dugaan penimbunan harta yang mencapai angka fantastis, yakni Rp 1 triliun. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada hari Selasa, 10 Juni 2025, Zarof menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) dengan harapan dapat meringankan ancaman hukuman 20 tahun penjara yang membayangi.

Dalam pembelaannya, Zarof berdalih bahwa penimbunan harta tersebut terjadi akibat kelalaiannya, sebuah pernyataan yang kontras dengan jumlah kekayaan yang jauh melampaui laporan yang disampaikannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pria berusia 63 tahun ini mengungkapkan penyesalannya, terutama karena terancam menghabiskan masa pensiun di balik jeruji besi. "Saya amat menyesal di umur saya yang sudah 63 tahun dan pada masa pensiun, serta di saat saya berikhtiar untuk menghabiskan banyak waktu bersama keluarga, saat ini saya malah berada di sini karena kelalaian saya," ujarnya.

Kasus ini bermula dari putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari tuduhan penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti. Kecurigaan atas adanya praktik transaksi haram di balik putusan tersebut mendorong penyelidikan lebih lanjut. Serangkaian penangkapan dilakukan, termasuk terhadap hakim yang menjatuhkan vonis bebas, pengacara, dan ibu Ronald Tannur. Dari sinilah nama Zarof Ricar mencuat, diduga sebagai sosok makelar perkara yang berperan dalam putusan bebas tersebut.

Zarof Ricar, seorang mantan pejabat eselon II a di MA, pernah menduduki posisi strategis seperti Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) MA (2006-2014) dan Sekretaris Direktorat Jenderal Badilum MA (2014-2017). Sebelum memasuki masa pensiun, ia menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA (2017-2022).

Reputasi Zarof sebagai 'makelar kasus' semakin santer terdengar ketika ia terseret dalam kasus suap majelis hakim terkait putusan bebas Ronald Tannur. Pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap Zarof di Jimbaran, Bali. Pengusutan peran Zarof terus dilakukan, yang berujung pada penggeledahan di kediamannya. Tim jaksa terkejut menemukan uang tunai sebesar Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kg. Jika dikonversikan, total nilai harta tersebut mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kejagung mengungkapkan bahwa anak buahnya hampir pingsan melihat tumpukan uang yang tergeletak di lantai saat penggeledahan.

Ironisnya, Zarof tidak pernah melaporkan harta kekayaannya yang fantastis kepada KPK. Ia juga diduga tidak melaporkan penerimaan gratifikasi selama menjabat sebagai pejabat MA. Dalam persidangan sebelumnya, terungkap bahwa Zarof hanya melaporkan satu kali penerimaan gratifikasi, yaitu berupa karangan bunga senilai Rp 35,5 juta yang diterima saat pernikahan putranya pada tahun 2018. Padahal, selama periode 2012-2022, harta senilai Rp 1 triliun lebih itu tersimpan rapat di rumahnya.

Rincian Jabatan Zarof Ricar di MA:

  • 30 Agustus 2006 - 1 September 2014: Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA (Eselon II a)
  • Oktober 2014 - Juli 2017: Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA (Eselon II a)
  • Agustus 2017 - 1 Februari 2022: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA (Eselon I a)

Bukti Kekayaan yang Disita:

  • Uang tunai: Rp 920 miliar
  • Emas batangan: 51 kg (setara dengan sekitar Rp 86,2 miliar dengan asumsi harga emas Rp 1.692.000 per gram)

Kasus ini menjadi sorotan publik dan memicu pertanyaan tentang integritas pejabat publik serta efektivitas pengawasan terhadap harta kekayaan mereka.