Kualitas dan Ukuran Rumah Subsidi Jadi Sorotan: Antara Harga Terjangkau dan Kelayakan Huni
Program rumah subsidi yang diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki hunian layak, kini menghadapi berbagai tantangan serius. Mulai dari kualitas bangunan yang mengecewakan, lokasi yang kurang strategis, hingga wacana memperkecil ukuran rumah, program ini menuai kritik dari berbagai pihak.
Beberapa konsumen rumah subsidi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kualitas bangunan. Rusli (nama samaran), membeli rumah subsidi di Bekasi Timur, mengaku kecewa dengan kualitas bangunan yang asal jadi. Akibatnya, rumah tersebut tidak pernah ditempati dan hanya dijadikan investasi. Sementara itu, Putri, yang baru membeli rumah subsidi di Lampung, mengeluhkan banyak keramik pecah, kebocoran, dan masalah sumur bor.
Selain masalah kualitas, lokasi rumah subsidi juga menjadi sorotan. Akses yang buruk ke fasilitas publik dan pusat kota menjadi kendala bagi penghuni. Jarak tempuh yang jauh ke mal, rumah sakit, dan gerbang tol membuat rumah subsidi kurang diminati.
Di tengah masalah-masalah tersebut, pemerintah melalui Kementerian PUPR mewacanakan untuk memperkecil ukuran rumah subsidi. Usulan ini menuai penolakan dari berbagai pihak. Anggota Satgas Percepatan Penyediaan Perumahan, Bonny Zulkarnain, menilai ukuran rumah 18 meter persegi tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip dasar hunian yang layak. Ia mengingatkan bahwa standar minimum rumah sehat adalah 36 meter persegi.
Ketua Umum Asprumnas, Muhamad Syawali Pratna, juga menolak rencana tersebut. Ia menyebut rumah 18 meter mirip gudang atau unit studio yang tidak layak untuk keluarga. Ia mengingatkan bahwa rumah subsidi tidak boleh diperlakukan seperti produk komersial murni dan harus memperhatikan nilai kemanusiaan.
Ketua Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Apernas Jaya) Andriliwan Muhamad mengungkapkan kekhawatiran bahwa konsep rumah kecil akan menghilangkan fungsi sosial rumah dan menjadi objek spekulatif. Ia mengusulkan model hunian vertikal minimalis sebagai solusi yang lebih ideal.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, mengusulkan agar rumah subsidi tetap dibangun dengan prinsip rumah tumbuh, yakni rumah yang bisa dikembangkan seiring pertambahan anggota keluarga. Ia pun mengusulkan agar tetap ada halaman depan dan sisa ruang belakang.
Berbagai pihak berharap pemerintah tetap menjaga standar layak huni dalam program perumahan bersubsidi. Rumah murah bukan berarti rumah sempit yang tidak berkembang. Rumah subsidi seharusnya tetap menjaga prinsip hunian yang sehat, layak, dan berkelanjutan.
Berikut adalah poin-poin masalah yang ditemukan:
- Kualitas Bangunan Buruk: Banyak konsumen mengeluhkan kualitas bangunan rumah subsidi yang tidak memuaskan, seperti keramik pecah, kebocoran, dan masalah instalasi air.
- Lokasi Tidak Strategis: Akses yang buruk ke fasilitas publik, pusat kota, dan infrastruktur transportasi menjadi kendala bagi penghuni rumah subsidi.
- Wacana Ukuran Rumah Diperkecil: Usulan memperkecil ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi menuai penolakan karena dinilai tidak layak huni dan tidak manusiawi.
- Pelanggaran Aturan: Temuan BPK menunjukkan adanya pemberian rumah subsidi yang tidak tepat sasaran dan permasalahan pembayaran subsidi selisih bunga.
- Potensi Kekumuhan dan Kerusakan Pasar: Jika ukuran rumah kecil diadopsi secara luas, dikhawatirkan akan menciptakan kekumuhan dan merusak pasar perumahan.
Program rumah subsidi diharapkan dapat terus dievaluasi dan diperbaiki agar benar-benar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki hunian yang layak dan berkualitas.