Raja Ampat di Bawah Ancaman Tambang Nikel: Gelombang Penolakan Semakin Kencang
Rencana ekspansi industri pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai kecaman luas dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis lingkungan, pelaku industri pariwisata, hingga akademisi.
Penolakan ini muncul sebagai respons terhadap keberadaan izin usaha pertambangan (IUP) yang berpotensi merusak keindahan alam dan keanekaragaman hayati Raja Ampat yang mendunia. Walaupun pemerintah telah mencabut beberapa IUP, kekhawatiran tetap membayangi mengingat adanya preseden penerbitan kembali izin yang telah dicabut sebelumnya.
Desakan Perlindungan Penuh dan Permanen
Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencabut empat IUP, tetapi menekankan perlunya perlindungan penuh dan permanen bagi seluruh ekosistem Raja Ampat. Mereka mendesak pencabutan seluruh izin pertambangan, baik yang aktif maupun tidak aktif, untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Surat Terbuka ASITA kepada Presiden Terpilih
Association of The Indonesian Tours & Travel Agencies (ASITA) secara terbuka menyampaikan keprihatinan mendalam kepada presiden terpilih Prabowo Subianto atas masifnya aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. ASITA menyoroti kontradiksi antara aktivitas pertambangan dengan prinsip pariwisata berkelanjutan yang selama ini menjadi andalan Raja Ampat.
Sebagai kawasan yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark dan bagian dari Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Raja Ampat memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Aktivitas pertambangan mengancam merusak reputasi Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia dan menimbulkan pertanyaan terkait legitimasi retribusi konservasi yang dibebankan kepada wisatawan.
Pertambangan dan Pariwisata: Dua Entitas yang Tak Sejalan
Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa pertambangan dan pariwisata adalah dua hal yang tidak mungkin berjalan beriringan. Aktivitas pertambangan bertentangan dengan upaya pelestarian lingkungan yang menjadi dasar pariwisata berkelanjutan.
Landasan Hukum yang Dilanggar
UU No. 1 Tahun 2014 dan putusan Mahkamah Konstitusi secara jelas melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, Perpres No 81 Tahun 2023 dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wilayah Waisai juga tidak memberikan ruang bagi aktivitas pertambangan, melainkan menekankan pengembangan pariwisata dan pertanian berkelanjutan.