Pemerintah dan BPS Bersiap Perbarui Metodologi Pengukuran Garis Kemiskinan Nasional
Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), tengah menginisiasi pembaruan signifikan dalam metodologi pengukuran garis kemiskinan nasional. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap perubahan standar hidup masyarakat yang dinilai sudah jauh berbeda dibandingkan saat metodologi yang ada terakhir kali direvisi.
Menurut Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, pembaruan metodologi ini ditargetkan selesai pada tahun ini. Ia menekankan bahwa metodologi yang saat ini digunakan, yang terakhir direvisi pada tahun 1998, tidak lagi mencerminkan realitas sosial ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Indikasi ketidakrelevanan ini terlihat dari semakin dekatnya garis kemiskinan nasional yang ditetapkan BPS (Rp 595.242 per bulan) dengan garis kemiskinan ekstrim internasional (Rp 546.400 per bulan).
Ketidakakuratan data kemiskinan nasional dapat berdampak serius pada efektivitas kebijakan ekonomi pemerintah. Data yang tidak relevan berpotensi menyesatkan pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan.
"Indikator yang terlalu rendah dapat menciptakan ilusi kemajuan dan mengaburkan arah kebijakan. Revisi ini akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih akurat," ujar Arief.
Lebih lanjut Arief menjelaskan, pembaruan metodologi penghitungan garis kemiskinan ini bukan merupakan hal yang aneh. Negara-negara berkembang lain seperti Malaysia dan Vietnam juga sudah melakukan langkah serupa.
- Malaysia telah merevisi garis kemiskinannya sejak 2018.
- Vietnam melakukan revisi pada 2021.
Arief menambahkan bahwa revisi garis kemiskinan adalah langkah kejujuran nasional. Tujuannya bukan untuk memperburuk citra, tapi untuk memperbaiki arah pembangunan dan menjamin kebijakan ekonomi yang lebih tepat sasaran dan inklusif.