Miris, Puluhan Anak di Ngawi Minta Izin Nikah Dini, Mayoritas Akibat Kehamilan Tak Direncanakan

Fenomena memprihatinkan terjadi di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, di mana puluhan anak di bawah umur mengajukan dispensasi pernikahan. Data terbaru hingga akhir Mei 2024 mencatat adanya 37 permohonan izin menikah dari kalangan remaja. Ironisnya, sebagian besar pengajuan tersebut dilatarbelakangi oleh kehamilan di luar nikah.

Kepala UPTD P2TP2A Kabupaten Ngawi, Gatot Kariyanto, mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi ini. Menurutnya, tingginya angka dispensasi nikah pada anak-anak disebabkan oleh beberapa faktor kompleks, di antaranya adalah:

  • Pergaulan Bebas: Akses informasi yang tidak terkontrol dan kurangnya pengawasan dari orang tua membuat anak-anak rentan terjerumus dalam pergaulan bebas.
  • Penyalahgunaan Teknologi: Kemudahan mengakses internet, terutama konten pornografi, memberikan dampak negatif bagi perkembangan psikologis dan perilaku anak.
  • Kurangnya Edukasi Seksual: Minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan risiko hubungan seksual pranikah menyebabkan anak-anak kurang berhati-hati dalam berinteraksi.

Gatot menjelaskan, dari 37 anak yang mengajukan dispensasi, 31 di antaranya adalah perempuan dan 6 laki-laki. Dari 31 anak perempuan tersebut, 15 di antaranya sudah dalam kondisi hamil, bahkan 3 di antaranya telah melahirkan sebelum menikah. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat dampak negatif yang akan dialami oleh anak-anak tersebut, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.

Kehamilan di usia muda dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan bagi ibu dan bayi. Selain itu, anak yang menikah dini juga berpotensi mengalami putus sekolah, kesulitan ekonomi, dan masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan. Lebih lanjut, pernikahan anak juga dapat melanggengkan siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan gender.

Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten Ngawi melalui UPTD P2TP2A berupaya melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan. Salah satunya adalah dengan memberikan edukasi dan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang kesehatan reproduksi, bahaya pergaulan bebas, dan dampak negatif pernikahan dini. Selain itu, pihaknya juga berupaya meningkatkan peran serta keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam mengawasi dan membimbing anak-anak agar terhindar dari perilaku berisiko.

Gatot menekankan pentingnya peran orang tua dalam mendampingi anak-anak dalam menggunakan gawai. Orang tua harus proaktif memantau aktivitas online anak, memberikan pemahaman tentang penggunaan internet yang sehat dan bertanggung jawab, serta membangun komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak.

"Pencegahan pernikahan dini tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi membutuhkan kerja sama dari semua pihak. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersinergi untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini dan memastikan mereka memiliki masa depan yang cerah," pungkas Gatot.