Terancam Punah, Palem Endemik Raja Ampat di Ambang Kepunahan Akibat Ekspansi Tambang
Kepulauan Raja Ampat, yang tersohor dengan keindahan bawah lautnya, menyimpan pesona tersembunyi di daratan berupa spesies endemik yang terancam punah: Palem Raja Ampat (Wallaceodoxa raja-ampat). Palem megah ini, menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Kew Bulletin (2014) oleh Charlie D. Heatubun, Scott Zona, dan William J. Baker, hanya tumbuh di dua lokasi spesifik di Raja Ampat, yaitu Pulau Gag dan Pulau Waigeo. Habitatnya yang unik berada di hutan dataran rendah berbatu kapur, termasuk tanah ekstrem yang terbentuk dari pelapukan batuan ultramafik.
Sayangnya, populasi palem ini menghadapi ancaman serius. Habitatnya yang terbatas, ditambah dengan tekanan aktivitas manusia, telah mendorongnya ke status Sangat Terancam Punah (Critically Endangered) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Ancaman ini diperparah dengan adanya aktivitas pertambangan di pulau Gag, yang merusak habitat alami palem.
Karakteristik Unik Palem Raja Ampat
Palem Raja Ampat memiliki ciri khas yang membedakannya dari jenis palem lain:
- Tinggi: Dapat mencapai 30-40 meter.
- Batang: Berdiameter 15-20 cm, bahkan bisa mencapai 30 cm.
- Daun: 11-19 helai daun melengkung dengan panjang 2,8-4,1 meter.
- Anak Daun: Sempit, berbentuk lanset linear dengan ujung seperti digigit (praemorse).
- Pelepah, Tangkai, dan Tulang Daun: Dipenuhi rambut tebal putih seperti wol, bercampur rambut cokelat-hitam melintir.
- Perbungaan: Berwarna putih, bercabang tiga tingkat dengan rachillae tebal dan padat.
Peran Ekologis dan Potensi Manfaat
Palem Raja Ampat memainkan peran penting dalam ekosistem lokal. Buahnya menjadi sumber pakan alami bagi burung Cendrawasih merah dan burung paruh bengkok Papua, dua spesies ikonik Papua yang juga terancam punah. Selain itu, batang palem yang kuat berpotensi menjadi bahan bangunan, sementara buahnya dikonsumsi oleh masyarakat setempat sebagai pengganti pinang.
Ancaman Pertambangan dan Dampak Signifikan
Populasi Palem Raja Ampat sangat rentan karena distribusinya yang terbatas. Di Pulau Gag, sekitar 75% habitatnya telah masuk dalam konsesi pertambangan nikel, sementara sisanya beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa dan kebun campuran. Hal ini menyebabkan fragmentasi hutan dan penurunan populasi palem secara drastis. Data menunjukkan penurunan populasi yang signifikan antara tahun 2006 dan 2011 akibat pembukaan lahan.
Di Pulau Waigeo, populasi palem ditemukan di sekitar kota Waisai yang berkembang pesat. Habitatnya yang berada di kawasan perkotaan membuatnya rentan terhadap pembangunan infrastruktur. Survei pada tahun 2011 menunjukkan jumlah pohon dewasa yang sangat sedikit, meskipun terdapat anakan dan semaian. Luas sebaran populasi Palem Raja Ampat hanya 66 km², dengan area hunian aktif seluas 8 km². Kondisi ini menempatkan palem pada status konservasi yang sangat kritis.
Asal Usul Nama
Nama Wallaceodoxa raja-ampat diambil untuk menghormati Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang dikenal karena mengembangkan teori seleksi alam dan pernah mengunjungi Waigeo pada tahun 1860. Nama genus “Wallaceodoxa” menggabungkan nama Wallace dengan kata Yunani “-doxa” yang berarti "untuk kemuliaan Wallace". Dalam bahasa lokal (dialek Wayaf atau Gebe), palem ini dikenal sebagai Gulbotom.
Saat ini, maraknya aktivitas pertambangan di habitat aslinya menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup Palem Raja Ampat. Meskipun palem ini mampu bertahan dalam kondisi ekstrem, pembukaan lahan secara besar-besaran akan menghancurkan habitatnya. Palem Raja Ampat bukan sekadar tanaman, tetapi juga simbol kekayaan hayati Papua yang membutuhkan perhatian mendesak. Upaya konservasi sangat penting untuk memastikan bahwa warisan alam yang berharga ini tidak hilang dari muka bumi.