Aktivitas Pukat Harimau Resahkan Nelayan Tradisional Cilincing
Praktik penangkapan ikan menggunakan pukat harimau masih menjadi momok bagi nelayan tradisional di wilayah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Meskipun telah dilarang oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2023, praktik merusak ini dilaporkan masih marak terjadi di perairan tersebut.
Para nelayan tradisional mengeluhkan dampak negatif dari penggunaan pukat harimau yang mereka sebut sebagai ancaman terhadap mata pencaharian mereka. Surya, seorang nelayan setempat, mengungkapkan bahwa diperkirakan terdapat sekitar 50 kapal yang secara aktif menggunakan pukat harimau di perairan Cilincing.
Menurut penuturan Surya, terdapat dua jenis kapal yang terlibat dalam praktik ilegal ini:
- Kapal besar: Beroperasi di tengah laut dengan menggunakan pukat harimau berukuran besar.
- Kapal kecil (pengguna arat): Beroperasi di wilayah perairan yang lebih dekat dengan garis pantai, menggunakan pukat harimau berukuran lebih kecil atau dikenal dengan istilah "arat".
Kapal-kapal yang menggunakan arat ini lah yang paling sering terlibat konflik dengan nelayan tradisional. Perbedaan waktu operasional seringkali menjadi pemicu bentrokan di laut. Nelayan tradisional umumnya mulai menebar jaring pada sore hari, sementara kapal-kapal arat terkadang masih menarik jaring pada waktu yang sama. Hal ini menyebabkan jaring nelayan tradisional rusak dan hasil tangkapan berkurang secara signifikan.
"Jadi, jaring nelayan tradisional mati hasilnya," keluh Surya. "Kadang nebar jaring aja jam 17.00 WIB kaya arat harusnya berhenti, ini masih narik aja. Sedangkan jam 17.00 WIB kaya nelayan tradisional udah nebar jaring, akhirnya bentrok dan kadang ribut di laut," tambahnya.
Selain merusak jaring, kapal-kapal arat juga dilaporkan seringkali memotong jaring nelayan tradisional. Kerugian akibat pemotongan jaring ini tidaklah sedikit. Untuk satu jaring saja, nelayan harus mengeluarkan modal sekitar Rp 1,5 juta. Jika pelaku pemotongan jaring tertangkap, mereka biasanya dimintai ganti rugi. Namun, seringkali aksi pemotongan jaring ini tidak terdeteksi, sehingga nelayan harus menanggung kerugian sendiri.
Maraknya penggunaan pukat harimau ini tidak hanya merugikan nelayan tradisional secara ekonomi, tetapi juga mengancam kelestarian ekosistem laut. Pukat harimau dikenal sebagai alat tangkap yang tidak selektif dan dapat merusak habitat ikan serta biota laut lainnya. Kondisi ini semakin memperparah kondisi perikanan di wilayah Cilincing dan mengancam keberlangsungan mata pencaharian nelayan tradisional di masa depan.