Dilema Nikel: Antara Ambisi Mobil Listrik dan Kerusakan Lingkungan di Indonesia

Janji Mobil Listrik dan Realitas Tambang Nikel

Mobil listrik dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon dan memerangi perubahan iklim. Namun, di balik citra ramah lingkungan tersebut, tersembunyi dampak negatif pertambangan nikel di Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti Pulau Obi, Halmahera, dan Raja Ampat. Eksploitasi sumber daya alam ini menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal.

Sebagai negara dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia, Indonesia menjadi target investasi tambang dan smelter nikel. Nikel merupakan komponen penting dalam pembuatan baterai lithium-ion yang digunakan pada mobil listrik. Namun, aktivitas pertambangan nikel seringkali mengabaikan prinsip keberlanjutan, menyebabkan deforestasi, sedimentasi laut, pencemaran sungai, dan hilangnya wilayah adat. Masyarakat lokal, terutama nelayan dan suku adat, seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak memperoleh manfaat ekonomi yang adil.

Ironi 'Greenwashing' dan Dampak Lokal

Praktik greenwashing terjadi ketika industri nikel menggunakan narasi "masa depan hijau" dan "transisi energi global" untuk menutupi dampak negatif pertambangan. Perusahaan, negara, dan konsumen di negara maju membeli mobil listrik tanpa menyadari jejak ekologis yang ditinggalkan oleh produksi baterai. Bahkan, kerusakan lingkungan akibat tambang nikel seringkali dibenarkan sebagai kontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim.

Di Pulau Obi, misalnya, laporan menunjukkan bahwa luas area pertambangan meningkat hampir tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Sedimentasi dari aktivitas tambang mencemari laut, merusak terumbu karang, dan mengancam kehidupan biota laut seperti pari manta dan kura-kura sisik. Nelayan kehilangan mata pencaharian, dan sektor pariwisata terancam. Di Halmahera, suku O’Hongana Manyawa kehilangan hutan dan sumber air bersih akibat pembukaan lahan tambang.

Transisi Energi yang Adil: Sebuah Keharusan

Kegiatan pertambangan nikel seringkali dikaitkan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim. Namun, transisi energi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat lokal di negara berkembang merupakan interpretasi yang keliru dari semangat SDGs. SDGs 13 seharusnya mencakup adaptasi yang adil, perlindungan ekosistem rentan, dan penghormatan terhadap hak komunitas lokal.

Transisi energi yang adil harus menjadi prioritas utama. Industri nikel harus dijalankan dengan menghormati lingkungan, melibatkan masyarakat lokal secara bermakna, dan mendistribusikan manfaat secara adil. Audit lingkungan yang ketat, keterbukaan data Corporate Social Responsibility (CSR), dan pengakuan hak masyarakat adat adalah syarat mutlak. Selain itu, perlu ada pengembangan teknologi baterai yang lebih hemat sumber daya, daur ulang logam kritis, dan pengurangan konsumsi energi yang tidak perlu.

Obsesi terhadap "kendaraan hijau" seharusnya tidak menciptakan luka ekologis baru. Transisi menuju energi bersih harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan secara menyeluruh. Tanpa itu, mobil listrik hanya akan menjadi simbol kemajuan palsu yang dibangun di atas kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.