Tenun Terfo: Warisan Budaya Etnis Sobey dari Sarmi, Papua Terancam Punah

Kain tenun terfo, sebuah warisan budaya berharga dari etnis Sobey yang mendiami Kampung Sawar, Distrik Sarmi, Papua, kini menghadapi tantangan pelestarian yang mendesak. Kain tradisional ini bukan sekadar selembar tekstil, melainkan representasi dari pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Proses Pembuatan yang Alami dan Memakan Waktu

Keunikan tenun terfo terletak pada bahan baku dan proses pembuatannya yang sepenuhnya alami. Serat kain ini berasal dari daun pohon nibung (Oncosperma tigillarium), sejenis palma yang tumbuh subur di wilayah Asia Tenggara, termasuk Papua. Dalam bahasa Sobey, pohon nibung dikenal dengan sebutan pohon pe’a, yang banyak ditemukan di dataran rendah dekat muara sungai. Hampir seluruh bagian pohon nibung dapat dimanfaatkan, mulai dari batang, buah, hingga daunnya. Daun nibung memiliki daya tahan yang kuat, sehingga sering digunakan sebagai bahan atap dan anyaman keranjang.

Proses pembuatan tenun terfo membutuhkan ketelitian dan kesabaran ekstra. Penenun harus terlebih dahulu mencari daun nibung di hutan, merebusnya, lalu memisahkan serat-seratnya. Serat-serat ini kemudian dipintal menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Pewarnaan kain terfo juga menggunakan bahan-bahan alami, seperti akar mare untuk menghasilkan warna merah dan kunyit untuk warna kuning. Keseluruhan proses, mulai dari pengambilan bahan baku hingga menjadi selembar kain tenun, dapat memakan waktu hingga satu bulan.

  • Bahan Baku Alami: Daun pohon nibung (Oncosperma tigillarium)
  • Proses Alami: Pengambilan bahan baku, perebusan, pemintalan, penenunan, dan pewarnaan alami
  • Warna Alami: Akar mare (merah) dan kunyit (kuning)

Nilai Budaya dan Ekonomi

Kain tenun terfo bukan hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga nilai budaya dan ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Sobey. Pada masa lalu, kain ini digunakan sebagai pakaian dan keperluan adat. Saat ini, selembar tenun terfo dihargai sekitar Rp 1 juta. Para penenun sangat menghargai karya mereka dan merasa sedih jika ada pembeli yang menawar dengan harga rendah, mengingat waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk membuatnya.

Tenun terfo telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia sejak tahun 2016. Namun, Hari Suroto, seorang peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, mengusulkan agar tenun terfo dimasukkan dalam daftar perlindungan mendesak UNESCO. Ia juga mendorong Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Sarmi dan Provinsi Papua untuk mempromosikan kain terfo ke tingkat nasional.

Ancaman dan Upaya Pelestarian

Sayangnya, ketersediaan daun nibung semakin berkurang akibat pemanfaatan berlebihan, penebangan, dan alih fungsi lahan. Hal ini memaksa etnis Sobey untuk pergi jauh ke dalam hutan untuk mencari bahan baku tenun. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang melibatkan etnis Sobey dalam kegiatan pembudidayaan nibung.

Suroto juga menekankan pentingnya mewariskan pengetahuan menenun terfo kepada generasi muda. Ia mengusulkan agar para perajin tenun terfo diberikan ruang untuk mengajarkan keterampilan mereka kepada siswa sekolah atau mahasiswa seni. Dengan upaya pelestarian yang komprehensif, diharapkan tenun terfo dapat terus lestari dan menjadi kebanggaan masyarakat Papua.