PB HMI Soroti IUP Nikel Raja Ampat: Diduga Langgar UU dan Putusan MK, Aktor Korupsi Harus Ditindak!

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) melalui Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan, menyoroti serius keberadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Mereka menduga kuat bahwa izin tersebut melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan yang berlaku, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Rifyan Ridwan Saleh, Ketua Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan PB HMI, menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Menurutnya, prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil seharusnya ditujukan untuk kepentingan konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata berkelanjutan, perikanan, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.

"Di luar tujuan-tujuan tersebut, pemanfaatan pulau kecil harus memenuhi syarat pengelolaan lingkungan yang ketat, dengan memperhatikan kemampuan dan kelestarian lingkungan, sistem tata air setempat, serta penggunaan teknologi ramah lingkungan," tegas Rifyan.

PB HMI menilai bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu mengambil sikap tegas terhadap persoalan ini. Mereka mendesak agar segala aktivitas yang bertentangan dengan undang-undang di Raja Ampat dihentikan secara permanen.

Menurut Rifyan, definisi pulau kecil dalam undang-undang adalah pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta ekosistemnya. Pulau Gag, salah satu pulau di gugusan Raja Ampat yang menjadi lokasi penambangan nikel, memiliki luas sekitar 77,27 kilometer persegi. Dengan demikian, Pulau Gag termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan.

"Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga telah melarang aktivitas tambang di pulau-pulau kecil. Selain itu, pertambangan di Raja Ampat juga diduga melanggar Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat 4 yang mengamanatkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional," paparnya.

Rifyan menekankan bahwa aktivitas pertambangan di Raja Ampat tidak berwawasan lingkungan dan hanya mengutamakan produksi nikel. Ia menyayangkan bahwa hal ini mengorbankan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di wilayah terdampak.

PB HMI memberikan dukungan penuh terhadap upaya penertiban aktivitas tambang di Raja Ampat. Mereka mendorong Menteri ESDM untuk mengambil tanggung jawab dan langkah-langkah tegas untuk menghentikan pelanggaran hukum yang terjadi. HMI tidak hanya menginginkan penghentian sementara, tetapi penghentian permanen aktivitas pertambangan di Raja Ampat.

"Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas menyatakan bahwa menteri berwenang menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil apabila menimbulkan dampak penting terhadap perubahan lingkungan," imbuhnya.

Lebih lanjut, Rifyan menduga bahwa penerbitan izin pertambangan di Raja Ampat, yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang, mengindikasikan adanya praktik korupsi.

"Jika peraturan perundang-undangan dan putusan MK telah jelas, tetapi izin pertambangan tetap dikeluarkan, maka saya patut menduga ada praktik kongkalikong antara otoritas pemberi izin, yakni pemerintah pusat, dengan perusahaan tambang," pungkas Rifyan.

PB HMI mendesak agar aparat penegak hukum segera melakukan investigasi mendalam terhadap dugaan pelanggaran hukum dan praktik korupsi dalam penerbitan IUP nikel di Raja Ampat. Mereka juga meminta agar pihak-pihak yang terlibat dalam praktik tersebut ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.