Burasa: Warisan Kuliner Jambi yang Terancam Hilang Ditelan Zaman

Di tengah perayaan Idul Adha di pesisir timur Jambi, sebuah hidangan istimewa bernama Burasa hadir menghiasi meja-meja makan. Makanan tradisional ini, yang akrab di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, kini telah berpadu dengan cita rasa lokal, khususnya abon udang segar yang dikenal dengan sebutan Bejabuk.

Burasa menjadi sajian wajib saat hari-hari besar. Junaidi HB, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saefuddin Jambi, menuturkan bahwa Burasa adalah makanan yang hanya dibuat pada momen-momen spesial. Dahulu, Burasa lazim disantap dengan Coto Makassar. Namun, di Jambi, terjadi penyesuaian budaya yang menghasilkan kombinasi unik antara Burasa dan Bejabuk. Masyarakat Bugis yang mendiami wilayah pesisir Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat seringkali menikmati Burasa dengan Bejabuk, meskipun pilihan pelengkap tetap diserahkan kepada pembuatnya. Beberapa orang memilih gulai ayam kampung sebagai pendamping, sementara yang lain menggabungkan keduanya.

Memasak Burasa membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup lama. Namun, hal ini tidak mengurangi antusiasme masyarakat pesisir untuk menyajikannya. Bagi mereka, perayaan terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Burasa. Kendati demikian, Junaidi mengungkapkan kekhawatiran mengenai kelestarian Burasa di masa depan. Ia melihat adanya kecenderungan generasi muda yang enggan meneruskan tradisi pembuatan Burasa. Bahkan, tidak sedikit generasi muda yang tidak mengenal makanan tradisional ini. Junaidi khawatir bahwa Burasa akan punah dalam satu dekade mendatang, seiring dengan hilangnya generasi yang mahir dalam membuatnya. Kebanyakan pembuat Burasa saat ini adalah orang-orang yang berusia lanjut.

Burasa sendiri merupakan kuliner yang terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan garam, kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan cara khusus. Setelah itu, Burasa dikukus selama 3-5 jam. Rasanya gurih dan teksturnya lembut, mirip dengan ketupat, namun dengan cita rasa yang berbeda. Dahulu, pembuatan Burasa dilakukan secara gotong royong dan membutuhkan waktu yang lama karena bahan-bahan dan peralatan memasak masih terbatas. Namun, tradisi gotong royong ini semakin jarang ditemui karena kemudahan dalam mendapatkan bahan-bahan secara instan.

Dalam filosofi Bugis, Burasa mengandung makna memberi atau perasaan berat. Oleh karena itu, Burasa menjadi simbol silaturahmi saat Lebaran. Tradisi saling memberikan Burasa, meskipun tetangga juga membuatnya, mencerminkan keinginan untuk memperluas kebaikan dan menumbuhkan solidaritas dalam masyarakat. Tindakan saling memberi ini akan melahirkan perasaan saling menghargai dan saling memuji dalam kebaikan. Melalui hidangan Burasa, nilai-nilai positif seperti kepedulian sosial dan penghargaan terhadap sesama dapat terus dilestarikan.