Penolakan Simbol LGBT di Ligue 1: Pemain Menghadapi Sanksi dan Kontroversi
Kontroversi kembali mencuat di kancah sepak bola Prancis, Ligue 1, terkait penolakan terhadap simbol LGBT pada seragam pemain. Dua pemain menjadi sorotan utama setelah secara terbuka menentang penggunaan logo tersebut, memicu perdebatan tentang kebebasan berkeyakinan dan kampanye inklusivitas.
Nemanja Matic dari Lyon dan Ahmed Hassan dari Le Havre, diketahui menutupi logo LGBT yang terpasang di lengan kanan jersey mereka dengan menggunakan selotip putih selama pertandingan terakhir Ligue 1 musim 2024/2025. Tindakan ini kemudian berujung pada sanksi dari pihak liga, berupa larangan bermain di awal musim 2025/2026. Keputusan ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak, terutama para suporter sepak bola yang menganggap bahwa pemain memiliki hak untuk memegang prinsip dan keyakinan pribadi tanpa harus dipaksa untuk mendukung kampanye tertentu.
Operator liga mengeluarkan pernyataan terkait sanksi tersebut. Tidak hanya larangan bermain, kedua pemain juga diwajibkan untuk mengikuti kampanye selama enam bulan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang perjuangan melawan homofobia.
Kasus ini menambah panjang daftar penolakan pemain Ligue 1 terhadap simbol LGBT. Sebelumnya, pada tahun 2018, penyerang Nantes, Mostafa Mohamed, memilih untuk tidak ikut dalam pertandingan timnya melawan Montpellier karena menolak mengenakan jersey dengan logo serupa. Ia menyampaikan bahwa setiap individu memiliki latar belakang, budaya, dan pandangan yang berbeda, dan hidup berdampingan berarti menghargai keberagaman ekspresi. Ia juga menekankan pentingnya rasa hormat terhadap orang lain, diri sendiri, dan keyakinan pribadi. Nilai-nilai yang tertanam kuat dalam dirinya membuatnya sulit untuk berpartisipasi dalam kampanye tersebut.
Meskipun demikian, klub Nantes menjatuhkan sanksi kepada Mostafa Mohamed atas penolakannya. Di sisi lain, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mendukung penuh upaya Ligue 1 dalam mempromosikan kampanye LGBT, yang pada akhirnya menempatkan para pemain dalam posisi sulit untuk menentang kebijakan tersebut.
Polemik ini mencerminkan kompleksitas isu LGBT dalam dunia olahraga, di mana kebebasan berkeyakinan individu berbenturan dengan upaya untuk mempromosikan inklusivitas dan kesetaraan. Kasus di Ligue 1 ini menjadi pengingat bahwa dialog dan pemahaman yang lebih mendalam diperlukan untuk menjembatani perbedaan pandangan dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua pihak.